Mukadimah
Pada umumnya, pondok pesantren (seterusnya disebut pesantren) dipandang sebagai sebuah sub-kultur yang mengembangkan pola kehidupan yang unik menurut kaca mata umum, modern. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang lahir dan tumbuh dari kultur Indonesia yang bersifat indegenous. Ia tumbuh atas prakarsa dan dukungan masyarakat, serta didorong oleh permintaan dan kebutuhan masyarakat (Madjid, 1997: 3, Sulaiman, 2010: 2). Menurut Van Bruinessen dan Kohlejo (dalam Sulaiman, 2010: 2), walaupun belum diketahui secara pasti kapan pesantren ada untuk pertama kalinya, namun dari pendapat beberapa sejarawan dapat diketahui bahwa pesantren di Indonesia sudah ada sejak zaman Wali Songo.
Pada saat sekarang ini, di tengah perkembangan dunia modernistik yang semakin intensif dan ekstensif adalah suatu fenomena yang menarik jika terdapat kenyataan adanya lembaga pendidikan yang konsisten mengembangkan tradisi akademik dan intelektualisme tradisional secara otonom. Suatu fenomena yang menarik pula apabila di tengah skeptisisme atau bahkan sinisme banyak kalangan terhadap adabtabilitas pesantren (lagging behind the time) namun pada realitasnya ia menunjukkan dinamika yang luar biasa. Dengan tetap mempertahankan tradisi akademik dan intelektualisme tradisionalnya, pesantren tetap eksis dalam hegemoni modernitas yang ada. Kredo pesantren yang diulang-ulang dan dipegang teguh, al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah barangkali menjadi jurus ampuh yang mengantarkan pesantren menjadi sosok yang terlihat modern akan tetapi sekaligus otentik, baik secara manajemen kelembagaan maupun pada tataran ontologi, espitemologi dan aksiologi pemikiran.[1]
Maka tidak mengherankan apabila kemudian berkat kehati-hatian (cautious policy) pesantren dalam merespon modernitas, justru menjadikannya semakin unik dan mendapat lirikan untuk menjadi alternatif banyak lapisan masyarakat di Indonesia.[2] Sekarang saja mulai terlahir suatu anggapan yang diamini bersama bahwa sistem pendidikan pesantren yang mempunyai akar kuat pada masyarakat dan kebudayaan lokal itu bisa merupakan suatu sistem alternatif atau sekurang-kurangnya menambah preferensi-kreatif bagi pembaharuan sistem pendidikan nasional (Abdullah, 2005: 68). Ini lah yang akhir-akhir ini mendongkrak perkembangan pesantren dan menarik perhatian pemerintah untuk mulai memperhatikan potensi besar yang dimiliki pesantren setelah sekian dasawarsa ia ditempatkan pada posisi yang tidak menguntungkan oleh pemerintah melalui politik alienasi.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dinamika perkembangan masyarakat yang sangat pesat pada beberapa dasawarsa terakhir, memunculkan tuntutan-tuntutan baru dalam bidang pendidikan yang semakin baragam, terutama bagi pesantren. Keragaman tuntutan pendidikan tersebut pada gilirannya menimbulkan orientasi pesantren menjadi beragam pula dan secara sosiologis mengantarkan pada pengkategorian tipologi pesantren yang semakin berkembang. Dalam arti, bentuk pesantren yang memang sejak awal sedemikian plural, maka seiring perkembangan dunia, pluralitas pesantren mengonsekwensikan tipologi-tipologi baru yang mencirikan diri dari lainnya yang telah ada.
Dilihat dari segi kurikulum dan materi yang diajarkan, menurut penelitian Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI pada tahun 2004 (dalam Sulaiman, 2010: 5) pesantren dapat digolongkan ke dalam empat tipe, yaitu: 1. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal, dengan penerapan kurikulum nasional pada satuan-satuan pendidikan keagamaan, seperti Madrasah Ibtidaiyyah (MI) untuk tingkat sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyyah (MTs) setingkat SMP, Madrasah Aliyah (MA) setingkat SMA dan Perguruan Tinggi Agama Islam. Juga ada yang menerapkan satuan pendidikan umum, seperti Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi Umum. 2. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dalam bentuk satuan pendidikan keagamaan (madrasah) dengan penerapan kurikulum yang sebagian besar berisi pengetahuan agama. 3. Pesantren yang menyelenggarakan satuan pendidikan non-formal dalam bentuk Madrasah Diniyah (MD) yang menerapkan kurikulum berisi pengetahuan agama. 4. Pesantren yang hanya berfungsi sebagai tempat pengajian.
Rahardjo (dalam Sulaiman, 2010: 5) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa sejak awal pertumbuhannya, pesantren memiliki bentuk yang beragam sehingga tidak ada suatu standarisasi khusus yang berlaku bagi pesantren. Namun dalam perkembangannya tampak adanya pola umum sheingga pesantren dalam dikelompokkan ke dalam dua tipe. Pertama, pesantren modern (khalafiyyah) yang ciri utamanya adalah 1. Gaya kepemimpinan pesantren cenderung korporatif. 2. Program pendidikannya berorientasi pada pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. 3. Materi pendidikan agama bersumber dari kitab-kitab klasik (kitab kuning) dan non-klasik. 4. Pelaksanaan pendidikan lebih banyak menggunakan metode-metode peebelajaran modern dan inovatif. 5. Hubungan antara kiai dan santri cenderung bersifat personal dan kolegial. 6. Kehidupan santri bersifat individualistik dan kompetitif.
Kedua, pesantren tradisional (salafiyyah) yaitu pesantren yang masih terikat kuat oleh tradisi-tradisi lama. Beberapa krakteristik tipe pesantren ini adalah; 1. Sistem pengelolaan pendidikan cenderung berada di tangan kiai sebagai pemimpin sentral, sekaligus pemilik pesantren. 2. Hanya mengajarkan pengetahuan agama 3. Materi pendidikan bersumber dari kitab-kitab klasik atau biasa disebut kitab kuning 4. Menggunakan sistem pendidikan tradisional seperti sistem weton atau bandongan dan sorogan 5. Hubungan antara kiai, ustadz, dan santri bersifat hierarkis 6. Kehidupan santri cenderung bersifat komunal dan egaliter.
Sedangkan Dhofier (dalam Sulaiman, 2010: 5-6) yang melihat pesantren berdasarkan keterbukaannya terhadap perubahan-perubahan sosial, mengelompokkan pesantren dalam dua kategori, yaitu pesantren salafi dan khalafi. Pesantren salafi atau tradisional yaitu pesantren yang masih mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan ilmu agama berdasarkan kitab-kitab kuning sebagai sumber literatur yang utama. Sedangkan penyelenggaraan pendidikannya menggunakan sistem bandongan dan sorogan. Pesantren khalafi adalah pesantren yang telah memasukkan mata pelajaran umum dalam kurikulum pendidikannya, menggunakan sistem klasikal, dan orientasi pendidikannya cenderung mengadopsi sistem pendidikan formal.
Selanjutnya, Dhofier mengemukakan tiga ciri yang pada umumnya dimiliki pesantren. Pertama, pesantren menanamkan nilai-nilai keagamaan yang sama, yaitu ketakwaan sebagai nilai utama. Nilai ini kemudian dijabarkan ke dalam nilai-nilai yang lebih spesifik seperti keikhlasan, kebersamaan, kesederhanaan dan perubahan atau pembaharuan. Kedua, kiai adalah orang yang umumnya tergolong mampu secara ekonomi di lingkungan komunitasnya, sehingga tidak heran apabila ia mampu membiayai sendiri kebutuhan hidup dan pesantrennya tanpa harus tergantung pada pihak lain. Ketiga, prestise dan kharisma yang dimiliki kiai memungkinkan untuk memperoleh akses informasi yang luas, termasuk akses terhadap sumber-sumber keuangan untuk pembiayaan berbagai kebutuhan dalam pengelolaan pesantren.[3]
Identitas pesantren yang pada awal perkembangannya merupakan lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam kini identitas tersebut mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan masyarakatnya. Sungguhpun demikian, pergeseran yang dialami pesantren sama sekali tidak menjadikannya tercerabut dari akar kulturalnya. Pesantren dengan karakterisitik kemandirian dan independensi kepemimpinannya tetap memiliki beberapa fungsi yaitu: 1. Sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transformasi ilmu pengetahuan agam dan nilai-nilai keislaman (Islamic values) 2. Sebagai lembaga pendidikan yang melakukan kontrol sosial (social control) dan 3. Sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering). Dengan demikian paling tidak selama ini pesantren memerankan tiga fungsi sekaligus yaitu: fungsi religius, fungsi sosial dan fungsi pendidikan.
Pendidikan Kitab Kuning di Pesantren
Kitab Kuning adalah salah satu dari elemen pendidikan pesantren yang utama selain kepemimpinan kyai. Dari kitab-kitab ini lah digali segenap tata nilai dan ilmu pengetahuan Islam. Kitab kuning sebagai hasil karya para ulama klasik yang nota bene merupakan kiblat nilai dan intelektual para civitas akademika pesantren menempati posisi yang tinggi setelah Al-Quran dan Al-Sunnah.[4] Dengan mengadaptasi tesis pemikiran Abu Zayd (2000; 9) yang menempatkan budaya Islam-Arab sebagai budaya teks maka tidak berlebihan bagi penulis menempatkan pula bahwa budaya pesantren adalah budaya teks yang terbentuk melalui cara berpikir referensial yang terpusat pada kitab kuning. Jika budaya pesantren adalah budaya teks maka bisa dikatakan pula bahwa budaya pesantren adalah budaya kitab kuning, mengingat kitab kuning adalah teks yang sedemikian utama dan sentral dalam tradisi pesantren.
Mengikuti kategorisasi Hasan Hanafi (2000; 9-10) keilmuan Islam dibagi menjadi tiga rumpun ilmu pengetahuan yaitu: ulum naqliyyah (ilmu-ilmu tekstual yaitu: hadits, tafsir, fiqh, sirah dan ulumul quran), ulum naqliyyah-aqliyyah (tekstual-rasional yaitu: ushul fiqh, filsafat, tasawuf, dan teologi) dan ulum aqliyyah (ilmu-ilmu rasional: sains dan humaniora) maka pesantren pada saat ini menyediakan semua disiplin ilmu tekstual, tekstual rasional maupun rasional murni. Hanya saja karena pesantren lebih mengutamakan praksisme sosial dan penanaman akhlak di samping ilmu pengetahuan maka ketersediaan kitab-kitab dalam ilmu-ilmu tekstual - terutama dalam bidang fiqh dan akhlak - merupakan titik temu semua varian pesantren.
Dalam rumpun ilmu-ilmu tekstual dan tekstual-rasional ada sekitar sembilan ratus (900) judul kitab kuning yang beredar di lingkungan pesantren dengan prosentase 20% yang bersubstansikan fiqh dan ushul fiqh, teologi berjumlah 17 %, bahasa Arab (nahwu, sharf, balaghah) 12 %, hadits Nabi 8%, tasawuf 7 %, akhlak 6%, pedoman doa (wirid, mujarrabat) 5% dan karya puji-pujian kenabian (qishash al anbiya, maulid, manaqib) 6%. Pengadopsian ilmu-ilmu rasional dalam pesantren terjadi seiring perkembagan dunia pesantren yang bergerak kemudian dalam rangka merespon modernitas yang ditandai dengan kebangkitan ilmu-ilmu sains dan humaniora di dunia Islam secara pelan-pelan barangkali untuk yang kali kedua setelah kejayaan rasionalisme Islam pada tujuh abad pertama.[5]
Sedangkan terkait metode pengajaran kitab kuning, pesantren mengenal setidaknya tiga metode yaitu: wetonan (bandongan), sorogan dan hafalan. Metode wetonan merupakan metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dengan memberi makna gandul yang disebut dengan istilah ngasahi dan memberikan catatan bila perlu. Metode sorongan adalah di mana santri membaca kitab dan maknanya satu persatu di depan kiai. Kiai cukup menunjukkan cara baca yang benar. Adapun metode hafalan berlangsung di mana santri menghafal teks yang dipelajarinya baik berupa nadzam (syair) maupun makno gandul dan penjelasannya dalam bahasa daerah (masyhud, 2003; 89). Sedangkan sistem jalsah atau halaqah biasanya merupakan ajang debat akademik baik bagi dan antar santri senior, ustadz maupun kiai yang sudah mumpuni.
Lebih dari itu, pesantren memahami pendidikan tidak hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan melalui sistem dan metode yang ada tersebut, akan tetapi lebih kepada pengamalan ilmu pengetahuan melalui akhlak mulia sebagai the core of pesantren. Pentingnya pembentukan akhlak mulia pada santri dipahami dari perspektif munculnya fenomena pelanggaran tata nilai dan norma sosial di dalam masyarakat yang nota bene seringkali dilakukan kalangan berilmu. Pesantren memahami bahwa ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi dengan akhlak akan jauh berbahaya daripada orang awam yang berakhlak. Pengutamaan akhlak dalam pendidikan pesantren ini barangkali dipahami dari pesan kenabian yang menjelaskan, innama bu’istu li utammima makarima al-akhlaq.
Pesantren memahami bahwa terbentuknya akhlak yang baik pada anak didik tidak bisa berlangsung cepat dan dalam waktu yang singkat. Akhlak yang terkait erat dengan spiritualitas dalam pandangan pesantren sebagaimana diktum Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin, harus diupayakan melalui mujahadah wa riyadhah (kesungguhan dan laku prihatin). Maka pendidikan ilmu pengetahuan di pesantren, di samping berbarengan dengan pendidikan karakter dengan praktik akhlak mulia juga penempaan spiritual melalui ritus mujahadah dan laku prihatin.
Saking kuatnya orientasi akhlak ini, maka tidak heran apabila ijazah sebagai salah satu elemen formal pendidikan bukan lah tujuan utama bagi santri maupun wali santri. Sebab dalam pandangan civitas akademika pesantren, banyak lulusan pesantren yang menjadi orang penting dan mempunyai pengaruh besar di masyarakat, bahkan banyak pula yang menjadi kiai atau suskes dalam usaha mereka meskipun hanya berijazah pesantren atau bahkan tidak berijazah. Menurut Wahid (dalam Sulaiman, 2010; 140) perbedaan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan umum melahirkan perbedaan dalam cara siswa atau santri belajar. Orientasi mengejar nilai atau kelulusan mengharuskan siswa belajar tekun, mengikuti bimbingan belajar atau kalau perlu nyontek. Sementara di kalangan santri ketekunan dalam belajar dibarengi dengan tirakat, serta puasa senin-kamis atau puasa ngrowot (tidak makan nasi dalam jangka waktu beberapa tahun) sehingga pola kerja akal dibarengi dengan kekuatan batin. Lebih jauh Wahid mengemukakan bahwa di pesantren juga tidak ada ujian, kecuali dalam sistem klasikal sehingga tidak ada santri yang nyontek. Kalau santri sudah selesai pengajian suatu kitab maka ditutup dengan pembacaan doa bersama, pemberian ijazah dari kiai, atau izin untuk mengajarkan kitab yang dipelajari kepada orang lain atau ijazah-ijazah kanuragan. Di antara mereka ada yang berkeinginan menjadi ahli agama (ulama) sehingga setelah mempelajari beberapa kitab elementer mereka memperdalam bahasa Arab sebagai alat untuk memperdalam kitab-kitab fiqh, ushul fiqh, hadits, sastra, tauhid, tarikh dan akhlak.
Kitab Kuning: Posisi dan Signifikansi
Di samping faktor kepemimpinan kiai, kitab kuning adalah faktor penting yang menjadi karakteristik pesantren sebagai sub-kultur. Selain sebagai pedoman bagi tata cara keberagamaan, kitab kuning difungsikan sebagai referensi nilai universal dalam menyikapi segala tantangan kehidupan. Ketika kitab kuning digunakan secara permanen dari generasi ke generasi sebagai sumber bacaan utama bagi masyarakat pesantren yang cukup luas maka sebuah proses pembentukan dalam pemeliharaan tradisi yang unik itu tengah berlangsung. Yang menarik untuk diamati adalah mengapa harus kitab kuning yang dijadikan referensi turun temurun itu? Bagaimanakah pesantren memperlakukan kitab kuning dalam tradisi pendidikannya? Pengamatan akan hal ini mungkin akan mendorong kita menjawab sebuah pertanyaan fundamental; Bukankah Al-Quran dan Al-Sunnah yang menjadi referensi mereka? (Affandi Mochtar dalam Marzuki Wahid, dkk (Ed) 1999: 230).
Alasan pemilihan kitab kuning, menurut sebagian kalangan, bisa dijelaskan dengan mempertimbangkan perkembangan tradisi intelektual Islam Nusantara. Sejak periode paling dini bersamaan dengan proses internasionalisasi yang berarti arabisasi, dokumentasi tentang ajaran-ajaran Islam selalu dilakukan dengan bahasa Arab. Arabisasi semacam ini tidak lain menempatkan keislaman di Indonesia selalu dalam konteks universal. Proses semacam ini terus belanjut sejalan dengan semakin kuatnya intervensi bahasa Arab ke dalam bahasa-bahasa daerah dan pesantren nampaknya hanya melanjutkan proses ini saja. Hal ini mencapai momentumnya ketika pesantren berada dalam tekanan kekuatan asing dan melakukan gerakan defensive non-kooperatif terhadapnya.
Mochtar (dalam Marzuki Wahid, dkk (Ed) 1999: 233) memaparkan penjelasan Mas’udi yang melihat masalah ini dari sudut lain yang lebih inheren dalam kehidupan pesantren, yakni berkaitan dengan pandangan kalangan pesantren tentang ilmu. Bagi masyarakat pesantren, ilmu adalah sesuatu yang hanya bisa diperoleh melalui jalan pengalihan, pewarisan, transmisi dan bukan sesuatu yang bisa diciptakan, created. Dalam salah satu kitab kuning yang menjadi pedoman belajar kalangan pesantren, Ta’lim Al-Muta’allim fi Thariq Al-Ta’allum, diajarkan bahwa ilmu adalah sesuatu yang kamu ambil dari lisan rijal (guru atau kiai) karena mereka telah menghafal bagian yang paling baik dari yang mereka dengar dan menyampaikan bagian yang paling baik dari yang pernah mereka hafal.
Di kalangan pesantren memang diakui adanya cara lain untuk memperoleh ilmu tidak hanya dengan transmisi seperti itu. Namun cara lain yang dimaksud bukan lah cara yang paling rasional melainkan cara yang bersifat gaib dalam proses hubungan langsung manusia dengan Yang Maha Berilmu dan identik dengan proses pewahyuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui cara lain ini oleh kalangan pesantren diakui sebagai ilmu ladunni. Dengan demikian, bagi masyarakat pesantren, ilmu dipandang sebagai sesuatu yang suci, sakral, tidak boleh spekulatif dan akal-akalan. Puncak dari padangan ini adalah ilmu dianggap wahyu tersendiri atau, paling tidak, hadir sebagai penjelas wahyu. Seperti halnya wahyu yang hanya dimonopoli oleh Nabi, ilmu diyakini juga hanya bisa dikuasai oleh ilmuan (ulama). Pandangan mereka ini tampaknya dipengaruhi oleh pemahaman mereka tentang hadits Nabi; Al-ulama warasatul anbiya (ulama adalah pewaris para Nabi).
Dengan pandangan keilmuan yang sedemikian ketat, tidak dinamis, pengajaran dan pendidikan yang berlangsung selalu merupakan pengulang-ulangan sebatas kata-kata ulama. Ada dua konsekwensi yang saling berkaitan dengan hal ini. Pertama, keseragaman (homogenitas) akan dengan mudah menjadi ciri yang sangat mencolok. Kalu saja terjadi perbedaan maka perbedaan itu hampir bisa dipastikan hanya dalam pengungkapan (ibarah)-nya saja. Kedua, kitab sebagai karya para ulama terdahulu yang memberikan keterangan langsung tentang kata-kata wahyu bersifat sentral. Sementara kiai yang memberikan keterangan atas kitab itu hanyalah subordinat atau sekedar alat baginya- tidak berhak mengevaluasinya (Mochtar dalam Marzuki Wahid, dkk (Ed.), 1999: 235)
Pandangan Mochtar dan Mas’udi benar dengan pendekatan historis-positifistik-obyektifistik semacam itu terhadap fenomena keilmuan pesantren dan pandangan mereka tentang ilmu. Akan tetapi dengan pendekatan fenomenologis, kegandrungan pesantren untuk selalu mempertimbangkan kitab kuning sebenarnya lahir sebagai hasil pemahaman dan penghayatan yang dalam para ulama pesantren tentang metodologi penalaran Islam yang memang harus dimulai dengan apresiasi pendapat ulama-ulama sebelumnya terlebih dahulu sebelum secara independen menentukan suatu status pengetahuan melalui Al-Quran dan Al-Sunnah. Al-Ghazali (2010; 585) menjelaskan bahwa seorang mujtahid pun tidak diperkenankan langsung berijtihad melalui Al-Qur’an dan Al-Sunnah akan tetapi memperhatikan Ijma’ para ulama yang nota bene banyak tercecer dalam kitab-kitab kuning. Seorang ulama kontemporer yang kesohor di seluruh dunia pun, Yusuf Al-Qaradhwi (1998: 24) membagi ijtihad menjadi dua yaitu ijtihad intiqai (selektif) dan ijtihad insyai (konstruktif). Dengan ijtihad intiqai, para ulama sudah harus pasti mengetahui pendapat ulama terdahulu yang terkodifikasi dalam kitab kuning dan melakukan penyulingan (seleksi) dan pengunggulan (preferensi) jika diperlukan.
Ontologi Kitab Kuning
Beberapa dasawarsa yang lalu, kitab kuning pernah dihadapkan pada pandangan-pandangan yang nyinyir tentang dirinya. Kitab kuning dianggap mewakili keterbelakangan (al-takhalluf) budaya sekaligus intelektual di kalangan non-pesantren. Ia tidak hanya dianggap berkadar ilmiah rendah, out of mode dan murahan akan tetapi juga, sebagaimana tasawuf dikambing-hitamkan, telah menyebabkan stagnasi umat Islam. Lambat laun suara-suara negatif itu mulai pudar seiring ketrampilan eksponen-eksponen pesantren di dalam menjelaskan kedudukan dan substansi kitab kuning sebenarnya dan kemungkinan dinamisasinya dalam konteks kekinian.
Kitab kuning adalah hasil penalaran para ulama terhadap Al-Qur’an dan Al-Sunnah dengan menggunakan metode tertentu beserta syarat-syarat kualifikasi maupun komptensi khusus yang harus dimiliki. Metode yang prosedural dan syarat kualifikasi maupun kompetensi yang dimilki oleh para ulama lah yang menjadikan proses penalaran terhadap Al-Quran dan Al-Sunnah berjalan sebagaimana seharusnya. Para ulama perlu melakukan penalaran terhadap Al-Quran dan Al-Sunnah mengingat kedua sumber pengetahuan Islam yang absolut ini tidak bisa serta merta dipahami. Sebagai sebuah teks, keduanya mengandaikan analisis sejarah dalam ilm al-riwayah, analisis lingusitik dalam mabahis al-alfadz dan analisis praksis dalam maqashid al-syariah (‘illah) sebagaimana yang berlaku dalam ushul fiqh (metode penalaran hukum Islam) (Hanafi, 1955: 5)
Dus, penalaran yang dilakukan oleh para ulama yang kemudian hasilnya terkodifikasi dalam kitab kuning itu sebenarnya merupakan keniscayaan ketika Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai penjelasnya telah mengklaim sebagai penjelas segala sesuatu yang ada di dunia ini. Para ulama menyadari bahwa teks Al-Quran dan Al-Sunnah terbatas sedangkan kenyataan dunia terus berubah, terbarui dan tidak terbatas. Ini lah yang kemudian memunculkan sebuah kredo terkenal di kalangan ahli ushul fiqh, al-nushush mutanahiyah wa al-waqai’ ghair mutanahiyah, maka ijtihad dengan penalaran adalah sebuah kenicayaan.
Para santri ketika belajar ushul fiqh kemudian mengenal metode penalaran ilmu pengetahuan yang dimulai dengan sumber Al-Quran diikuti Al-Sunnah, Ijma dan Qiyas. Hanya saja, perlu diketahui bahwa sebagaimana konsep bayan Al-Syafi’i (Al-Syafi’i, tt: 15-16) bahwa hierarki sumber pengetahuan itu tidak bediri sendiri pada masing-masing sumber akan tetapi terjadi inter-relasi sehingga perujukan kepada Al-Quran kadangkala perlu bantuan dengan perujukan kepada Al-Sunnah. Sedangkan Ijma’ adalah kesepakatan para ulama atas hal-hal yang tidak diketemukan sumber pengetahuannya di dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Qiyas adalah semacam ijtihad individual atas apa-apa yang tidak ada rujukannya di dalam ketiga sumber sebelumnya yang apabila terjadi perbedaan antara ulama maka akan terjadi ikhtilaf (perbedan pendapat) dan apabila bertemu dalam satu pendapat maka akan terjadi Ijma’.
Penalaran para ulama terhadap Al-Quran dan Al-Sunnah baik dalam merespon kasus-kasus pengetahuan yang ada maupun nihil secara eksplisit di dalam keduanya terkodifikasi di dalam kitab kuning yang digunakan oleh pesantren. Kitab kuning dengan begitu adalah hasil tafsir yang otoritatif – karena dilakukan oleh ulama yang memenuhi syarat kualifikasi dan kompetensi dengan metode yang prosedural - terhadap Al-Quran dan Al-Sunnah dalam rangka menjelaskan keduanya ataupun merespon hal-hal yang tidak diketemukan sumber pengetahuan di dalam keduanya secara eksplisit.
Para ulama pesantren ketika dihadapkan juga pada kasus-kasus pengetahuan baru pada zamannya maka serta merta mereka akan merujuk kepada kitab kuning yang sudah merupakan produk matang para ulama. Suatu tindakan yang melelahkan apabila mereka harus mengolahnya dari awal melalui perujukan langsung dari Al-Quran dan Al-Sunnah, di samping hal itu juga merupakan tindakan pengabaian terhadap otoritas ilmiah ulama sebelumnya. Dalam banyak kasus, kitab kuning menyimpan hasil penemuan pengetahuan yang berbeda antar ulama maka dalam hal ini para ulama pesantren seingkali mengevaluasi dan melakukan tarjih (preferensi). Lain halnya apabila kasus-kasus pengetahuan baru yang dihadapi para ulama pesantren tidak diketemukan di dalam kitab kuning maka mereka akan berijtihad sebagaimana para ulama berijtihad. Di dunia pesantren, ajang itjihad biasanya dilakukan secara jama’I (kolektif) meski tidak menutup kemungkinan adanya ijtihad fardi (individual) oleh beberapa ulama pesantren.
Kitab kuning yang merupakan hasil tafsir tehadap Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai sumber pengetahuan islam yang komprehensif terdiri dari berbagai disiplin ilmu sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya. Kitab*kuning dalam disiplin bahasa Arab berkaitan erat terutama dengan masalah-masalah nahwu, shorf dan balaghah. Bidang ini dikategorikan sebagai ilmu alat (instrumental science) yang merupakan pintu masuk (madkhal) untuk mempelajari dan mengkaji kitab kuning lebih jauh. Kitab kuning shorf paling dasar bagi para pemula adalah Al-Bina wa Al-Asas karya Mulla Al-Danqari, kemudian dilanjutkan kitab Al-Tashrif buah karya Ibrahmin Al-Zanzani atau kitab Al-Maqshud. Dalam bidang ini, kitab dalam bahasa jawa pun beredar misalnya kitab Al-Amsilah Al-Tashrifiyyah karya Muhammad Ma’shum bin Ali, asal Lasem, Jawa Tengah. Ada juga satu kitab shorf teramat ringkas dan tidak beredar luas yang sering disebut dengan shorf mlangi hasil anggitan Kyai Nur Iman dari Mlangi, Yogyakarta. Setelah itu setingkat lebih tinggi ada kitab kuning syarkh (komentar) atas Al-Maqshud yaitu Hall Al-Maqal karya Muhammad Ullays (w. 1881 M) dan komentar atas Al-Tashrif yaitu Kaylani karya Ali Ibn Hisyam Al-Kaylani.
Sedangkan dalam bidang Nahwu, kitab kuning pemula adalah Al-Awamil Al-Miah karya Abd Al-Qahir Ibn Abdirrahman Al-Jurjani (w. 471 H). masih termasuk dalam kategori kitab kuning pemula akan tetapi lebih tinggi tingkatannya adalah Al-Muqaddimah Al-Ajrumiyyah karya Abu Abdillah Ibn Dawud Al-Shanhaji bin Ajrum (w. 723 H). Kemudian kajian nahwu tingkat menengah menggunakan Al-Durar Al-Bahiyyah yang dikenal dengan ‘Imrithi karangan Syarf Ibn Yahya Al-Anshari Al-Imrithi dan lebih tinggi lagi menggunakan kitab kuning Al-Mutammimah karya Samsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Ru’yani Al-Khatabi dan kitab Alfiyyah Ibn Malik beserta kitab kuning syarkh yang dikenal dengan Ibn Aqil anggitan Abdullah bin Abdirrahman Al-Aqil.
Adapun yang membahas balaghah sekurang-kurangnya ada tiga kitab kuning yang terkenal dan digunakan di kalangan pesantren secara luas. Yang pertama adalah kitab Al-Jauhar Al-Maknun karya Abdurrahman Al-Akhdari (w. 920 H/1514 M) kitab syakh dan mukhtashar (resume) kitab ini juga beredar luas masing-masing disusun oleh Ahmad Al-Damanhuri (w. 1177 H/1763 M) dan Makhluf Al-Minyawi. Tak tertinggal KH. Bisri Musthafa asal rembang juga telah turut menejemahkan ke dalam bahasa jawa. Kitab kuning balaghah yang kedua adalah Al-Mursyid Ala Uqud Al-Juman fi ‘Ilm Al-Maani wa Al-Bayan karya Jalaluddin Al-Suyuthi yang meupakan edisi nadzm dari ‘Ilm Al-Ma’ani wa Al-Bayan karya Sirajuddin Al-Sakkaki. Sedangkan kitab balaghah terakhir yang beredar di pesantren adalah kitab Al-Rislaah Al-Samarqandiyyah karya Abu Al-Qasim Al-Samarqandi.
Selian shorf, nahwu dan balaghah yang termasuk dalam kategori ilmu alat di lingkungan pendidikan pesantren adalah ilmu tajjwid dan mathiq. Obyek bahasan ilmu tajwid khusus diperuntukkan bagi Al-Quran, yakni membahas sekitar kaidah-kaidah dan aturan-aturan bacaan Al-Quran secara tepat dan benar. Di pesantren, yang masyhur dikaji adalah antara lain kitab kuning Tuhfah Al-Athfal karya Sulaiman Jumzuri dan kitab Hidayah Al-Shibyan yang tidak diketahui penulisnya.
Sementara itu ilmu mantiq menyediakan teori-teori logika Aristoteles. Di kalangan pesantren ilmu ini sangat dibutuhkan terutama untuk mempertajam analisis fiqh dan penerapan ilmu ushul fiqh. Kitab kuning yang paling terkenal dalam masalah ini adalah Al-Sulam Al-Munawarraq fi ‘Ilm Al-Manthiq karya Al-Akhdar, pengarang kitab Al-Jauhar Al-Maknun. Komentar atas kitab kuning ini dibuatnya sendiri dalam Idat Al-Mubham min Ma’ani Al-Sulam. Selain itu ada satu lagi kitab kuning manthiq yang selalu dikaji di pesantren yaitu Isaghuzi, karya Atsiruddin Mufadhdhal Al-Bahri (w. 663 H/1264 M).
Sedangkan kitab kuning dalam bidang fiqh hampir semua yang beredar termasuk dalam kriteria fiqh Madzhab Syafi’i. Survei Van Bruinessen dalam hal ini penting untuk dicatat. Ia mengungkapkan bahwa karya-karya fiqh Syafi’i berasal atau merupakan kreasi lanjutan dari tiga kitab kuning yang muncul sebelumnya.[6] Masing-masing adalah kitab Al-Muharrar karya Al-Rafi’i (w. 625 H/1226 M), kitab Al-Taqrib karya Abu Syuja’ Al-Isfahani (w. 593 H/1197 M) dan kitab Qurrah Al-Ayn karangan Al-Malibari (w. 9756 H/1567 M).
Dari garis Al-Muharrar, kitab kuning generasi pertama yang lahir adalah Minhaj Al-Thalibin karya Abu Zakariyya Yahya An-Nawawi (w. 676 H/1277-8 H). Kemudian generasi berikutnya kitab-kitab kuning yang ada merupakan syarkh atas Minhaj yaitu Tuhfah Al-Muhtaj karya Ibn Hajar Al-Haytami (w. 973 H/1565-6 M) dan kitab Nihayah Al-Muhtaj karya Samsuddin Al-Romli (w. 1004 H/1595-6 M). begitu juga Mughni Al-Muhtaj karya Khatib Al-Syarbini (w. 977H/1569-70 M), kitab Kanz Al-Raghibin yang lebih dikenal dengan kitab Al-Mahalli karya Jalaluddin Al-Mahalli (w. 864 H/1460 M) dan kitab Minhaj Al-Thullab karya Zakariyya Al-Anshari (w. 926 H1520 M).
Generasi ketiga dari kitab Al-Muharrar adalah karya Al-Anshari, Fath Al-Wahhab yang merupakan ringkasan dari karyanya sendiri yaitu Minhaj Al-Thullab. Kitab kuning lainnya dari generasi ini hanya merupakan ringkasan dan intisari dari kitab kuning generasi sebelumnya. Sementara itu dari kitab Fath Al-Wahab lahir dua kitab hasyiyah (komentar atas komentar), masing-masing oleh Bujayrimi (w. 1221 H/1806 M) dan Jamal (w. 1204 H/1780-90 M).
Adapun dari kitab Ghayah wa Al-Taqrib karya Abu Syuja juga lahir dan berkembang sejumlah kitab kuning di lingkungan pesantren. Dari kitab ini muncul kitab Al-Iqna’ karya Syarbini (w. 977 H/1569-70 M), kitab Kifayah Al-Akhyar karya Al-Dimasyqi (w. 829 H/1426 M0 dan kitab Fath Al-Qarib karya Ibn Qasim (w. 918 H/1512 M).
Garis lain dari fiqh Syafi’i adalah Kitab Qurrah Al-‘Ayn karya Al-Malibari. Dari sini lahirlah kitab kuning Nihayah Al-Zayn karya Syaikh Nawawi Al-Bantani dan kitab Fath Al-Mu’in karya lanjutan Al-Malibari sendiri. Kemudian dua kitab kuning lain lahir dari kitab Fath Al-Mu’in yaitu I’anah Al-Thalibin karya Sayyid Bakri (w. 1893 M) dan kitab Tarsyih Al-Mustafidin karangan Alwi Al-Saqqaf (w. 1916 M).
Dalam daftar van den Berg ada garis lain yakni kitab kuning elementer abad ke 9 H, yaitu kitab Muqaddimah Al-Hadhramiyyah karya Abdullah bin Abdul Karim ba-Fadhal. Dari garis ini lahir kitab kuning baru yaitu karya lain Ibn Hajar, Minhaj Al-Qawim, yang kemudian pada abad ke 18 melahirkan kitab kuning Al-Hawasyi Al-Madaniyyah, tulisan kreatif seorang mufti madinah Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi. Melalui garis ini, kitab kuning yang paling terkenal dan beredar di hampir seluruh pesantren di Jawa hanya kitab Minhaj Al-Qawim yang kandungannya terbatas pada fiqh ibadah saja. Adapun dua kitab komentar lagi atas kitab Al-Muqadddimah adalah karya Syaikh Mahfudz Al-Tirmisi dan Busyr Al-Karim bi Syarkh Masail Ta’lim ala Muqaddimat Al-Hadhramiyyah karya Said bin M. Bahsin.
Selain kitab kuning fiqh yang mempunyai hubungan dengan tiga atau empat kitab garis asal muasal di atas, masih ada banyak lagi kitab kuning fiqh yang terkenal di pesantren. Untuk sekedar menyebut beberapa contoh di antaranya adalah kitab Sullam Al-Taufiq karya Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’lawi (w. 1271 H/1855 M) dan Safinah Al-Majah karya Salim bin Abdullah bin Sumair seorang ulama Arab yang tinggal di Jakarta pada pertengahan abad ke 19 M. Kedua kitab ini dipelajari oleh hampir seluruh santri di Indoensia. Jitab kuning lain yang gencar beredar dalam arus pendidikan pesantren adalah kitab Muhadzab karangan Ibrahim Al-Syirazi Al-Fayruzabadi (w. 467 H/1083 M), kitab Bughyah Al-Mustarsyidin, karya Abdurrhaman bin Husayn Al-Ba’lawi dan kitab Uqudullujjain fi Huquq Al-Zawjayn goresan tangan kreatif Syaikh Nawawi Al-Bantani. (Mochtar dalam Wahid, dkk (Ed.), 1999: 241-244).
Dalam bidang Ushul Fiqh pesantren mengenal beberapa kitab di antranya Al-Waraqat karya Imam Al-Haramayn (419-478 H/1028-1085 M), Al-Luma’ fi Ushul Al-Fiqh karya Abu Ishaq Al-Syairazi Al-Syafi’i (w. 476 H), Lathaif Al-Isyarat dan Jam’ Al-Jawami’ karya Tajuddin Al-Subki (w. 769 H) serta Al-Asybah wa Al-Nadzair karya Jalaluddin Al-Suyuthi (849-911 H/1445-1505 M).Kitab Jam’ Al-Jawami’ karya Al-Subki mendapatkan komentar dalam Lubb Al-Ushul karya Abu Zakariya Al-Anshari. Lubb Al-Ushul sendiri mendapatkan komentar oleh Muhammad Al-Jauhari dan Abu Zakariya Al-Anshari dalam Ghayah Al-Wushul. Jalaluddin Al-Mahalli juga mempunyai komentar atas Jam‘ Al-Jawami’ yang kemudian mendapatkan komentar atas komentar dari Al-Bannani (Hanafi, 2004: 33)
Konvensi yang terjadi antara ulama pesantren untuk menjadikan kitab tertentu sebagai text book di pesantren-pesantren mereka dalam kurun waktu yang sekian panjang akhirnya memapankan kitab-kitab tersebut menjadi sumber pengetahuan, terutama keagamaan, di pesantren yang sulit tergantikan. Bukan hanya semata-mata sebuah konvesi yang terjadi akan tetapi karena kitab kuning telah membuktikan dirinya mampu membentuk kerangka berpikir santri yang taat kepada ajaran agama di samping ia sendiri mempunyai potensi besar sebagai sumber pengetahuan untuk merespon berbagai permasalahan hidup dan menerima untuk ditransformasikan dalam konteks kekinian dengan tetap mempertahankan apa-apa yang baik di dalamnya untuk diketahui dan terapkan.
Penutup
Pesantren, dengan Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai sumber pengetahuan yang mutlak dan kitab kuning sebagai penunjang utama kontruksi pengetahuan pesantren, telah menghadapi banyak tantangan di sekian babakan sejarah semenjak masa-masa formatifnya hingga periode perkembangannya kini. Pesantren terbukti mampu mengatasi dan melakukan penyesuaian diri yang terus menerus dengan berbagai pengembangan yang nyata namun kadang tersimpan dengan ciri khas masing-masing tanpa mengorbakan identitasnya.
Sekarang ini, tepatnya pada akhir dasawarsa pertama dan awal dasawarsa kedua abad ke 21, pesantren dihadapkan bukan lagi pada tantangan globalisasi Barat di mana pesantren sanggup mempertahankan karakteristiknya tanpa lebur di dalam hegemoni modernitas, akan tetapi dihadapkan pada isu fundamentalisme dan radikalisme yang sangat mungkin terinpirasi pemikiran dan gerakan wahabisme global dan sudah merangsek semakin intensif dan ektensif di Indonesia. Akan kah pesantren mampu menyikapinya dengan bijak, menjinakkan dan memapankan Islam ala pesantren sebagai Islam rahmatan lil alamin? Tantangan yang tidak mudah bukan?
[1] Menurut Azra (dalam Madjid, 1997: xvi) untuk menghadapi semua perubahan dan tantangan, eskponen pesantren terlihat tidak tergesa-gesa mentransformasikan kelembagaan pesantren menjadi lembaga pendidikan modern Islam sepenuhnya tetapi sebaliknya cenderung mempertahankan kebijaksanaan hati-hati (cautious policy); mereka menerima pembaruan (atau moderniasasi) pendidkan Islam hanya dalam skala yang sangat terbatas, sebatas mampu menjamin pesantren bisa tetap survive.
[2] Menurut data Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI tahun 2004 (dalam Sulaiman, 2010: 2) beberapa dasawarsa terakhir, jumlah pesantren di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Laporan Departemen Agama RI tahun 1977 menyebutkan bahwa jumlah pesantren 4.195 buah dengan jumlah santri 677.801 orang. Jumlah ini mengalami peningkatan signifikan pada tahun 1982, di mana jumlah pesantren 6.329 buah dan jumlah santri 1.084.801 orang. Satu dasawarsa kemudian tepatnya pada tahun 2001 jumlah pesantren mencapai 11.312 buah dengan jumlah santri sebanyak 2.737.805 orang. Menurut Riyasi (dalam Sulaiman, 2010: 1) jumlah pesantren tersebut kebanyakan di pedesaan yaitu 8.829 (78.05%), 1.325 (11.71%) berada di perkotaan dan 1.158 (10.24%) berada di daerah perbatasan antara kota dan desa. Sedangkan para santri yang belajar dan tinggal di pesantren pada umunya berasal dari wilayah pedesaan dan mereka akan kembali ke daerah masing-masing setelah menyelesaikan pendidikan pesantren. Azra (dalam Madjid, 1997; xxii) menjelaskan bahwa telah terjadi ekspansi pesantren dari pertumbuhan yang semula hanya rural based institusion kemudian menjadi lembaga pendidikan urban.
[3] Kiai mempunyai komunikasi sosial yang efektif dipedesaan. Dalam jaringan itu kiai memperoleh penerimaan dan dukungan umat. Patronasenya berlaku dan diuji terus menerus. Kelembagaan social yang berada di bawah naungan kiai begitu luas – untuk sekedar menyebut contoh langgar, mushalla, pesantren, jamaah pengajian, kelompok tarekat – sehingga memberikan akses luas kepada kiai untuk berhubungan dengan masyarakatbya. Hal ini masih diperluas dengan hubungan sementara kiai dengan pusat-pusat sumberdaya sosial-ekonomi seperti para dermawan, lembaga swadaya masyarakat, funding agencies, birokrasi dan politik seperti partai, aparat militer, pejabat pemerintah yang kesemuanya dapat menjadi sarana atau rpasarana dan saluran demokratiasi melalui pesantren (Fajrul Falakh, 1999: 165)
[4] Dalam sebuah audensi penulis dengan hasan hanafi, salah seorang pemikir kesohor Timur Tengah, yang banyak mengamati perkembangan islam di Asia dan beberapa kali berkunjung ke Indonesia pernah mengungkapkan bahwa kitab suci Islam Indonesia itu ada tiga yaitu: Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Ihya’ Ulumuddin. Meskipun ini adalah seloroh seorang Hasan hanafi, akan tetapi memiliki makna yang mendalam. Al-Qur’an dan Al-Sunnah adalah sumber pertama dan kedua dalam ilmu pengetahuan Islam, akan tetapi sumber yang ketiga sebetulnya adalah Ijma dank e empat Qiyas. Penyebutan Ihya ulumuddin sebagai sumber hokum ketiga atau bahkan kitab suci ketiga oleh hasan hanafi adalah sindiran kalangan islam Indonesia yang elbih emmentingkan Al-Ghazali dengan pemikiran sufisitk dan madzhab dari pada mementinggkan Ijma sebagai kesepakatan mayoritas ulama atau Qiyas sebagai bentuk penalaran rasional daripada penalran tekstual.
[5] Teori jatuh bangunnya sebuah kebudayaan dalam siklus 7 abad yang dibuat Hanafi ini dianggap Ali Harb sebagai perdukunan dan bukan teori ilmiah (Harb, 2000; 48)
[6] Dalam konteks disiplin ushul fiqh paling tidak ada tiga motif kenapa para ulama memberikan syarkh, khulasah maupun khasiyah atas karya-karya sebelumnya: Pertama, pentingnya ushul fiqh dalam sistem pengetahuan Islam, baik dari segi ilmu maupun teks tertentu yang diberikan komentar. Dari segi ilmu, ushul fiqh menempati posisi yang menentukan karena memuat dasar-dasar fatwa yang terkait dengan kebaikan seluruh umat Islam. Adapun dari segi pentingnya sebuah teks karena karya-karya tertentu seperti Al-Mustashfa dan Syifa’ Al-Ghalil merupakan puncak kematangan teori di samping kematangan penulisnya. Kedua, upaya menjelaskan bagian-bagian yang kurang dipahami. Dalam hal ini, komentar berfungsi mempermudah pemahaman, akan tetapi sebagian komentar juga ditulis tanpa ada motivasi ini; mirip dengan karya-karya filsafat sekarang ini yang ditulis hanya dalam rangka memenuhi kebutuhan buku ajar di madrasah dan universitas. Bentuk komentar kadang tidak disertai bab pendahuluan yang memuat alasan kenapa harus dilakukan komentar. Ketiga, mempertahankan kontinuitas. Komentar dilakukan sekedar meniru generasi sebelumnya yang melakukan hal sama. (Hanafi, 2004, 380)