profil

Minggu, 08 Januari 2012

Abu Nawas dan Menteri yang Zalim (Bagian Pertama)

Di Negeri Baghdad dahulu kala ada seorang menteri yang dikenal sangat jahat perangainya, sehingga ditakuti warganya. Ia tidak bisa melihat perempuan cantik, terutama istri orang, pasti diambilnya. Apabila membeli suatu barang, ia tidak pernah mau membayar. Ihwal itu lama kelamaan sampai juga ke telinga Abu Nawas sehingga membuat hatinya panas. Maka Abu Nawas pun pasang niat tidak akan meninggalkan daerah itu sebelum sang menteri menghembuskan nafas terakhir alias mati.
Kemudian Abu Nawas berangkat ke tempat menteri itu tinggal dan sengaja menyewa rumah yang berdekatan untuk melakukan investigasi. Setelah beberapa hari bergaul dengan penduduk di situ, ia pun kenal dengan sang menteri dan bahkan bersahabat baik. Begitu baiknya pendekatan yang dilakukan sampai-sampai menteri itu tidak bisa mencium rencana busuk Abu Nawas. Abu Nawas boleh masuk dan keluar rumah itu dengan bebas, sehingga ia tidak menaruh curiga sama sekali kepadanya.
Di dalam rumah itu Abu Nawas melihat sebuah tiang gantungan yang digunakan untuk menggantung orang-orang yang bersalah kepada menteri itu. Cara menggantungnya pun dengan cara yang sadis, yaitu kaki di atas dan kepala di bawah. Dalam posisi demikian, orang itu dipukuli sampai mati.
“Dengan demikian memang betul berita-berta yang aku dengar tentang menteri ini,” pikir Abu Nawas. “Nantikanlah, aku pasti akan membalas.”
“Hai orang muda,” kata Abu Nawas, kepada seorang pemuda tampan yang sedang menggiring seekor lembu gemuk. “Apakah lembu itu akan dijual?” Pertemuan itu terjadi ketika Abu Nawas berjalan-jalan di sebuah sudut desa itu.
“Lembu ini tidak dijual,” jawab si pemuda, “Karena ini warisan bapak hamba.”
“Lebih baik lembu itu dijual saja,” Abu Nawas mencoba merayu. “Kalau laku dengan harga tinggi, kamu bisa berdagang sehingga uang itu menjadi banyak.”
“Betul juga kata Tuan,” jawab si pemuda setelah berpikir sejenak. “Namun untuk menjualnya hamba harus berkonsultasi dengan ibu di rumah, kalau ibu setuju boleh tuan membelinya.”
“Itu akan lebih baik,” Ujar Abu Nawas. Sementara anak muda itu pulang, Abu Nawas memeras otak, ia akan berusaha memanfaatkan ketampanan wajah anak muda itu untuk melaksanakan rencananya.
“Hai menteriku, tunggulah bagianmu kelak,” kata Abu Nawas dalam hati dengan perasaan geram.
“Ibu setuju menjual lembu ini,” kata pemuda itu kepada Abu Nawas, setelah keduanya bertemu lagi.
“Bagus,” kata Abu Nawas, “Tetapi sebenarnya bukan aku yang akan membeli lembumu, melainkan menteri yang zalim itu. Oleh karena itu berikan harga yang pasti, sesudah itu kita membuat perjanjian dan kamu yang akan melaksanakannnya. “Setuju?” Tanya Abu Nawas. “Setuju!” jawab si pemuda.
“Giringlah lembumu itu ke kebun, dan tunggulah aku di sana,” kata Abu Nawas. “Aku akan ke rumah menteri itu dan setelah itu aku menemuimu.”
“Hai menteri, ada seorang pemuda yang akan menjual seekor lembu gemuk,” kata Abu Nawas. “Jika Anda tertarik, silahkan anda beli dengan harga yang pantas, tidak mahal, mari kita ke kebun itu.”
“Berapa harganya?” tanya si menteri begitu sampai di kebun. Ia sangat tertarik dan ingin segera membelinya.
“Lima puluh dinar,” jawab si pemuda. “Boleh ditawar?” tanya si menteri. “Tidak bisa, karena lembu ini warisan bapak hamba,” jawab si pemuda.
“Baik, pasti kebayar harga itu,” ujar si menteri. Maka disodorkan ujung tali pengikat lembu kepada menteri, namun ketika ditarik ternyata kosong. Rupanya diam-diam Abu Nawas telah melepas binatang itu, namun karena harga telah disepakati, pemuda itu meminta bayarannya.
“Mana lembunya?” tanya si menteri. “Masa hanya talinya? Aku tidak sudi membayar.”
Keduanya pun berbantah-bantahan dengan sengitnya. “Aku minta bayarannya,” kata si pemuda. “Kalau tidak mau bayar, kembalikan lembuku.”
“Apa yang mesti kubayar, dan apa yang harus kukembalikan,” kilah si menteri. “Cuma tali yang kau berikan kepadaku … Nih, ambillah, aku tidak butuh tali.”
“Kerjamu memang cuma menipu dan menganiaya orang!” kata si pemuda lagi. “Kamu memang zalim, mau makan darah orang kecil.”
Si menteri tidak menggubris lagi perkataan itu, ia berjalan pulang kerumahnya. Sementar si anak muda hatinya sangat sedih, lembu hilang, uang melayang. “Barangkali memang itulah nasibku. Apa boleh buat,” keluhnya.
Bersambung …
http://www.sufiz.com/kisah-abu-nawas/abu-nawas-dan-menteri-yang-zalim-bagian-pertama.html

Abu Nawas dan Menteri yang Zalim (Bagian Kedua – Habis)

“Sudahkah kamu menerima pembayaran harga lembumu?” tanya Abu Nawas kepada anak muda pada malam harinya.
“Hamba diperdaya menteri itu,” jawab si pemuda dengan wajah nelangsa. “Lembu hilang, uang melayang.”
“Coba ceritakan kata Abu Nawas. “Aku kira jual beli berjalan lancar sehingga aku cepat-cepat pergi karena ada urusan lain.”
Maka diceritakanlah kejadian itu dengan nada mendongkol. “Sialan menteri itu,” ujar si pemuda.
“Oh begitu, kata Abu Nawas. “Jangan sedih, Insya Allah aku akan membantu.” Kemudian Abu Nawas minta si pemuda bersedia melaksanakan rencana yang telah disusunnya untuk membunuh si menteri zalim itu.
Keesokan harinya jam tujuh malam seorang wanita cantik berhenti di depan rumah si menteri zalim, ia tampak membuang sesuatu yang dicabut dari kakinya.
“Hai Adinda, dari mana gerangan asalmu?” tiba-tiba muncul suara dari sudut yang gelap. Suara itu ternyata milik menteri yang saat itu juga sedang berjalan-jalan di depan rumahnya. Hatinya amat girang begitu melihat wajah cantik yang tiba-tiba muncul di depan matanya.
“Hamba orang desa, tadi ketika berjalan bersama suami, kaki hamba tertusuk duri. Hamba terpaksa berhenti untuk menarik duri dari kaki, suami hamba tidak mau menunggu dan hamba ditinggal di sini. Hamba tidak tahu jalan pulang ke rumah,” kata si perempuan itu dengan penuh iba, lalu ia pun menangis.
“Jika Adinda mau, silahkan mampir ke rumah hamba sambil menunggu suami Adinda. Barangkali dia sekarang sedang mencari Adinda,” kata si menteri. “Jangan takut.”
“Hamba takut kepada istri dan pelayan-pelayan tuan,” kata perempuan muda itu.
“Kalau begitu, silahkan Adinda duduk di sini, Kanda akan menyuruh istri pergi ke rumah ibunya bersama pelayan-pelayan itu,” kata si menteri. Maka sang menteri pun tergopoh-gopoh masuk ke rumahnya.
“Hai Adinda, katanya, “Sekarang ini sebaiknya Adinda pergi ke rumah ibu karena sudah lama rasanya Adinda tidak kesana.” “Jika demikian kehendak Kakanda, baiklah hamba kesana,” jawab istri si menteri.
“Hai Adinda, kata si menteri kepada perempuan muda itu setelah rumah kosong. “Silahkan masuk ke rumah hamba, karena istri dan semua pelayan telah pergi.”
“Baiklah, katanya sambil mengikuti langkah si menteri. Di dalam rumah dilihatnya tali gantungan seperti yang diceritakan Abu Nawas. Menteri itu mendorong si perempuan muda ke kamar dan mengajak tidur, namun ia mencoba menolak sambil merajuk.
“Sebelum kita tidur, cobalah Kakanda bergantung sebentar pada tali itu,” rayunya. “Seumur hidup hamba belum pernah melihat orang bergantung ditali.”
Karena terdorong oleh nafsu syahwat yang menggelora, permintaan itu dituruti si menteri. “Tolong Adinda pegang tali gantungan ini kuat-kuat, jangan dilepaskan,” katanya.
Menteri itu kemudian memasukkan badannya kedalam tali gantungan, setelah itu si perempuan gadungan melepaskan tali yang dipegangnya sehingga badan si menteri menggantung dengan posisi kaki di atas dan kepala di bawah. Si perempuan pun mengeluarkan sebuah pentungan lalu memukul badan dan kepala si menteri zalim itu sambil berujar. “Hai menteri zalim, aku bukan perempuan, akulah pemilik lembu yang kau tipu, sekarang terimalah pembalasanku. Aku minta harga lembuku, ayo bayar… bayar” Bak – Bik – Buk… darah segar mengalir dari mulut, hidung dan telinga menteri itu, sehingga ia tidak sadarkan diri. “Mampuslah kau,” teriak si pemuda.
Mengira bahwa si menteri sudah mati, masuklah perempuan palsu itu ke dalam rumah, dan menjarah barang-barang yang ada, sesudah itu barulah ia pulang dengan menggondol harta kekayaan si menteri zalim
Di tempat lain si istri menteri mendapat firasat buruk, hatinya berebar-debar keras. “Ada apa gerangan di rumahku?” pikirnya dalam hati, maka dengan bergegas pulanglah ia ke rumah.
Setiba di rumah ia menjerit-jerit histeris lantaran dilihatnya suaminya tergantung pingsan dengan kepala berdarah dan harta bendanya ludes. Ketika tali gantungan dilepas, ternyata suaminya masih bernafas, meski terengah-engah. Kemudian dipercikkan air mawar ke sekujur tubuhnya dan kepala menteri hingga siuman dan membuka matanya.
“Ya Kakanda……” ucap si istri sambil menangis meratapi nasib suaminya. “Kenapa Kanda bisa begini?”
Si menteri tidak bisa segera menjawab pertanyaan itu, tapi lambat laun setelah kesadarannya mulai pulih ia pun bisa menceritakan semua yang dialaminya. Setelah itu ia jatuh sakit.
Abu Nawas khawatir demi mendengar kabar itu, buru-buru ditemui si anak muda itu di rumahnya. “Mengapa tidak kamu matikan dia?” tanya Abu Nawas. “Bukankah aku sudah pesan, jangan kamu tinggal sebelum dia mati. Sekarang sebaiknya kamu tambah penyakit menteri itu supaya mati.
“Bagaimana caranya?” tanya si pemuda, ia tidak kalah khawatir dengan Abu Nawas.
“Berpura-puralah menjadi dukun, karena saat ini menteri itu sedang mencari dukun, kata Abu Nawas. “Selanjutnya usahakan dengan caramu sendiri agar rumah itu kosong, dan setelah kosong pukulilah menteri itu sampai mati, sebelum mati, jangan kamu tinggalkan dia.”
Esok harinya datanglah seorang kakek tua bertongkat ke rumah menteri itu, ia memakai jubah panjang dan serban putih dengan langkah terbungkuk-bungkuk.
“Tuan, tanya seorang pelayan menteri itu, siapakah tuan ini?
“Aku ini dukun,” jawabnya, “Kenapa kamu menyapa aku di tengah jalan seperti ini, tidak sopan berbuat seperti itu kepada orang tua.”
“Maaf,” kata si pelayan, “Hamba pelayan menteri, beliau saat ini sedang sakit dan perlu dukun, jika tuan suka, silahkan masuk ke rumahnya.” “Ya tuan dukun, obatilah hamba ini,” kata si menteri itu setelah dukun palsu itu duduk di samping pembaringannya. “Hamba sakit…” lama-kelamaan suaranya hilang.
“Moga-moga hamba bisa mengobati tuan,” jawab si dukun. “Tapi bisakah pelayan-pelayan itu disuruh mencari daun kayu lengkap dengan akarnya. Daun itu memang sulit dicari tetapi banyak gunanya untuk penyembuhan tuan.”
Menteri itu kemudian menyuruh tiga orang pelayan untuk memenuhi permintaan dukun. Tak lama kemudian dukun itu berkata lagi, “Maaf, hamba lupa, adalagi daun kayu yang lain yang hamba butuhkan. Tolong pelayan yang lain disuruh mencari.” Maka menteri itu pun menyuruh pelayan lainnya sehingga rumah itu kosong karena anak dan istri menteri itu sabelumnya sudah pergi ke luar rumah.
Setelah yakin bahwa rumah itu kosong, diambil sebuah pentungan dan dipukulnya sekujur badan menteri itu sampai babak belur dan mengeluarkan darah dari hidung, telinga dan mulunya. “Hai menteri, aku bukan dukun, tapi pemilik lembu yang kamu tipu. Mana bayaranmu!” katanya.
Menteri itu pingsan dan tidak bernafas lagi. Dikiranya si menteri sudah mati, cepat-cepat dukun itu pergi, karena khawatir para pelayan itu segera kembali. “Puas hatiku karena menteri itu sudah mati,” pikir si dukun palsu.
Kira-kira satu jam kemudian para pelayan itu kembali dengan tangan hampa diikuti oleh istri menteri. Mereka cemas melihat tuannya tergeletak dan dukun itu tidak ada lagi. Lalu istri menteri itu menyiram badan suaminya dengan air mawar yang diminumkan seteguk ke mulutnya. Tak lama kemudian menteri itu sadar namun belum bisa bicara.
“Ya istriku, orang itu bukan dukun, tetapi yang punya lembu itu juga,” kata si menteri setelah sadar. “Panggil orang-orang alim dan kabarkan kepada mereka bahwa aku sudah mati. Masukkan badanku ke dalam keranda bersama sekerat batang pisang yang dibungkus kain putih sebagaimana mayat laiknya. Tetapi yang dimasukkan ke liang lahat nanti adalah batang pisang tadi, sedang badanku tetap dalam keranda dan dibawa pulang kembali. Dengan demikian orang yang punya lembu itu tidak akan datang lagi kemari. Kapan-kapan bila aku sembuh akan kucari orang itu untuk membuat perhitungan terakhir.”
Semua pesan itu dikerjakan oleh istri menteri itu dengan baik. Tetap dasar Abu Nawas, ia berhasil mencium akal busuk itu. Maka ditemuinya si pemilik lembu. “Kenapa tidak kamu pukul s`mpai mati menteri itu?” bertanya Abu Nawas.
“Orang itu sudah mati,” kata si pemuda. “Ia tidak bergerak dan tidak bernafas lagi, karena darah keluar dari hidung dan telinganya.”
“Saat ini menteri itu masih hidup tapi pura-pura mati,” kata Abu Nawas. Lalu diceritakannya rencana menteri tadi dan rencananya sendiri agar menteri itu benar-benart mati, sebab jika ia masih hidup juga aku tidak dapat menjamin nasibmu kelak,”
“Hai saudara, maukan Anda aku bayar untuk menaiki kuda yang cepat larinya?” kata Abu Nawas kepada seorang joki yang berbadan tinggi tegap, dekatilah kuburan menteri itu, jika jenazah sudah sampai ke liang kubur, berteriaklah keras-keras, “Akulah pemilik lembu”, kemudian paculah kudamu sekencang-kencangnya. “Setuju?” “Nah, ini uangnya, pergilah.”
Esok harinya iring-iringan jenazah menteri itu berangkat dari rumah lengkat dengan orang besar, orang alim, sanak keluarga, dan sahabat almarhum. Begitu sampai dekat liang lahat, terdengar teriakan “Akulah pemilik lembu”.
Suasana di kuburan menjadi kacau, karena para pelayat kemudian berlarian ingin mengejar orang yang berteriak tadi. Namun apa lacur, orang yang dikejar sudah kabur dengan kudanya, sementara keranda ditinggal tidak terurus. Pada saat itulah si pemuda pemilik lembu yang sebenarnya muncul.
Rupanya ia ikut dalam barisan pelayat. “Hai menteri, akulah pemilik lembu yang kamu tipu, sekarang saatnya kamu harus membayar lunas utangmu. Tidak akan kubiarkan nyawamu tetap bersarang di badanmu.” Lalu di pukulnya menteri itu sekuat tenaga hingga benar-benar mati. Setelah itu ia pulang ke rumah.
Akan halnya joki tadi, akhirnya ia terkejar dan tertangkap dan kemudian dibawa ke kuburan menteri. Upacara pemakaman yang tadinya hanya pura-pura menjadi upacara sungguhan karena menteri yang diusung di dalam keranda itu benar-benar mati, badannya hancur dan tidak bernafas lagi tanpa diketahui siapa pelakunya. Hal itu mengagetkan seluruh pelayat.
Setelah itu orang-orang pulang ke rumah masing-masing dengan hati masygul dan heran. Sedangkan si joki dibawa oleh anak-anak menteri kerumahnya. “Apa sebab kamu berteriak dan mengaku sebagai orang yang punya lembu?” tanya mereka.
“Aku tidak tahu sebabnya, aku hanya diupah untuk berteriak seperti itu,” jawab si joki.
“Siapa yang mengupah kamu?” Tanya anak-anak meteri. “Abu Nawas,” jawab si joki.
“Hai Abu Nawas,” kata anak menteri setelah menemukan Abu Nawas, kenapa kamu mengupah untuk berteriak seperti itu dan menganiaya bapakku?”
“Menganiaya bapakmu?” Abu Nawas balik bertanya. “Bertanyalah yang benar.”
“Engkau suruh orang itu berteriak mengaku sebagai orang yang punya lembu, maka kami kejar dia, karena yang menyebabkan bapakku sakit tiada lain adalah orang yang punya lembu, bukan dari Allah.
“Oh begitu,” kata Abu Nawas sambil senyum kecil. “Jadi kamu tidak tahu bahwa orang yang punya lembu itu sudah ditakdirkan Allah untuk berbuat demikian karena bapakmu terlalu zalim, penipu, penganiaya, pengisap darah orang kecil, dan sebagainya. Rasanya tidak usah diperpanjang masalah ini, yang akan membuatmu malu besar, lebih baik kamu doakan saja agar bapakmu diampuni Allah.”
Anak menteri itu terdiam, sebab ia tahu semua perbuatan bapaknya. “Barangkali memang demikian takdir bapakku,” pikirnya dalam hati sambil berjalan pulang ke rumah.
Warga kota itu – termasuk orang yang punya lembu – merasa senang dan tenang hatinya karena tidak ada lagi orang yang akan berbuat zalim.
Sedangkan Abu Nawas segera kembali ke rumahnya. “Niatku sudah terlaksana,” pikirnya. “Siapa tahu barangkali Khalifah Harun Al-Rasyid sedang menanti kedatanganku ke istana beliau, lagi pula aku juga sudah sangat rindu kepada Baginda Sultan.”
http://www.sufiz.com/kisah-abu-nawas/abu-nawas-dan-menteri-yang-zalim-bagian-kedua-habis.html

Abu Nawas dan Pengemis yang Kedinginan dalam Kolam

Ada seorang saudagar di Bagdad yang mempunyai sebuah kolam yang airnya terkenal sangat dingin. Konon tidak seorangpun yang tahan berendam didalamnya berlama-lama, apalagi hingga separuh malam.
“Siapa yang berani berendam semalam di kolamku, aku beri hadiah sepuluh ringgit,” kata saudagar itu. Ajakan tersebut mengundang banyak orang untuk mencobanya. Namun tidak ada yang tahan semalam, paling lama hanya mampu sampai sepertiga malam.
Pada suatu hari datang seorang pengemis kepadanya. “Maukah kamu berendam di dalam kolamku ini semalam? Jika kamu tahan aku beri hadiah sepuluh ringgit,” kata si saudagar.
“Baiklah akan kucoba,” jawab si pengemis. Kemudian dicelupkannya kedua tangan dan kakinya ke dalam kolam, memang air kolam itu dingin sekali. “Boleh juga,” katanya kemudian.
“Kalau begitu nanti malam kamu bisa berendam disitu,” kata si saudagar.
Menanti datangnya malam si pengemis pulang dulu ingin memberi tahu anak istrinya mengenai rencana berendam di kolam itu.
“Istriku,” kata si pengemis sesampainya di rumah. “Bagaimana pendapatmu bila aku berendam semalam di kolam saudagar itu untuk mendapat uang sepuluh ringgit? Kalau kamu setuju aku akan mencobanya.”
“Setuju,” jawab si istri, “Moga-moga Tuhan menguatkan badanmu.”
Kemudian pengemis itu kembali ke rumah saudagar. “Nanti malam jam delapan kamu boleh masuk ke kolamku dan boleh keluar jam enam pagi,” kata si saudagar, “Jika tahan akan ku bayar upahmu.”
Setelah sampai waktunya masuklah si pengemis ke dalam kolam, hampir tengah malam ia kedinginan sampai tidak tahan lagi dan ingin keluar, tetapi karena mengharap uang upah sepuluh ringgit, ditahannya maksud itu sekuat tenaga. Ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar airnya tidak terlalu dingin lagi. Ternyata doanya dikabulkan, ia tidak merasa kedinginan lagi. Kira-kira jam dua pagi anaknya datang menyusul. Ia khawatir jangan-jangan bapaknya mati kedinginan. Hatinya sangat gembira ketika dilihat bapaknya masih hidup. Kemudian ia menyalakan api di tepi kolam dan menunggu sampai pagi.
Siang harinya pengemis itu bangkit dari kolam dan buru-buru menemui si saudagar untuk minta upahnya. Namun saudagar itu menolak membayar, “Aku tidak mau membayar, karena anakmu membuat api di tepi kolam, kamu pasti tidak kedinginan.”
Namun si pengemis tidak mau kalah, “Panas api itu tidak sampai ke badan saya, selain apinya jauh, saya kan berendam di air, masakan api bisa masuk ke dalam air?”
“Aku tetap tidak mau membayar upahmu,” kata saudagar itu ngotot. “Sekarang terserah kamu, mau melapor atau berkelahi denganku, aku tunggu.”
Dengan perasaan gondok pengemis itu pulang ke rumah, “Sudah kedinginan setengah mati, tidak dapat uang lagi,” pikirnya. Ia kemudian mengadukan penipuan itu kepada seorang hakim. Boro-boro pengaduannya di dengar, Hakim itu malahan membenarkan sikap sang saudagar. Lantas ia berusaha menemui orang-orang besar lainnya untuk diajak bicara, namun ia tetap disalahkan juga.
“Kemana lagi aku akan mengadukan nasibku ini,” kata si pengemis dengan nada putus asa. “Ya Allah, engkau jugalah yang tahu nasib hamba-Mu ini, mudah-mudahan tiap-tipa orang yang benar engkau menangkan.” Doanya dalam hati.
Ia pun berjalan mengikuti langkah kakinya dengan perasaan yang semakin dongkol. Dengan takdir Allah ia bertemu dengan Abu Nawas di sudut jalan.
“Hai, hamba Allah,” Tanya Abu Nawas, ketika melihat pengemis itu tampak sangat sedih. “mengapa anda kelihatan murung sekali? Padahal udara sedemikian cerah.”
“Memang benar hamba sedang dirundung malang,” kata si pengemis, lantas diceritakan musibah yang menimpa si pengemis sambil mengadukan nasibnya.
“Jangan sedih lagi,” kata Abu Nawas ringan. “Insyaallah aku dapat membantu menyelesaikan masalahmu. Besok datanglah ke rumahku dan lihatlah caraku, niscaya kamu menang dengan izin Allah.”
“Terima kasih banyak, anda bersedia menolongku,” kata si pengemis. Lantas keduanya berpisah. Abu Nawas tidak pulang ke rumah, melainkan menghadap Baginda Sultan di Istana. “Apa kabar, hai Abu Nawas?” sapa Baginda Sultan begitu melihat batang hidung Abu Nawas. “Ada masalah apa gerangan hari ini?”
“Kabar baik, ya Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas. “jika tidak keberatan patik silahkan baginda datang kerumah patik, sebab patik punya hajat.”
“Kapan aku mesti datang ke rumahmu?” tanya baginda Sultan.
“Hari Senin jam tujuh pagi, tuanku,” jawa Abu Nawas.
“Baiklah,” kata Sultan, aku pasti datang ke rumahmu.”
Begitu keluar dari Istana, Abu Nawas langsung ke rumah saudagar yang punya kolam, kemudian ke rumah tuan hakim dan pembesar-pembesar lainnya yang pernah dihubungi oleh si pengemis. Kepada mereka Abu Nawas menyampaikan undangan untuk datang kerumahnya senin depan.
Hari senin yang ditunggu, sejak jam tujuh pagi rumah Abu Nawas telah penuh dengan tamu yang diundang, termasuk baginda Sultan. Mereka duduk di permadani yang sebelumnya telah di gelar oleh tuan rumah sesuai dengan pangkat dan kedudukan masing-masing. Setelah semuanya terkumpul, Abu Nawas mohon kepada sultan untuk pergi kebelakang rumah, ia kemudian menggantung sebuah periuk besar pada sebuah pohon, menjerangnya – menaruh di atas api.
Tunggu punya tunggu, Abu Nawas tidak tampak batang hidungnya, maka Sultan pun memanggil Abu Nawas, “kemana gerangan si Abu Nawas, sudah masakkah nasinya atau belum?” gerutu Sultan.
Rupanya gerutuan Sultan di dengar oleh Abu Nawas, ia pun menjawab, “Tunggulah sebentar lagi, tuanku Syah Alam.”
Baginda pun diam, dan duduk kembali. Namun ketika matahari telah sampai ke ubun-ubun, ternyata Abu Nawas tak juga muncul dihadapan para tamu. Perut baginda yang buncit itu telah keroncongan. “Hai Abu Nawas, bagaimana dengan masakanmu itu? Aku sudah lapar, kata Baginda.
“Sebentar lagi, ya Syah Alam,” sahut tuan rumah.
Baginda masih sabar, ia kemudian duduk kembali, tetapi ketika waktu dzuhur sudah hampir habis tak juga ada hidangan yang keluar, baginda tak sabar lagi, ia pun menyusul Abu Nawas dibagian belakang rumah, di ikuti tamu-tamu lainnya. Mereka mau tahu apa sesungguhnya yang dikerjakan tuan rumah, ternyata Abu Nawas sedang mengipa-ngipas api di tungkunya.
“Hai Abu Nawas, mengapa kamu membuat api di bawah pohon seperti itu? Tanga baginda Sultan.
Abu Nawas pun bangkit, demi mendengar pernyataan baginda. “Ya tuanku Syah Alam, hamba sedang memasak nasi, sebentar lagi juga masak,” jawabnya.
“Menanak nasi?” tanya baginda, “Mana periuknya?”
“Ada, tuanku,” jawab Abu nawas sambil mengangkat mukanya ke atas.
“Ada?” tanya beginda keheranan. “Mana?” ia mendongakkan mukanya ke atas mengikuti gerak Abu Nawas, tampak di atas sana sebuah periuk besar bergantung jauh dari tanah.
“Hai, Abu Nawas, sudah gilakah kamu?” tanya Sultan. “Memasak nasi bukan begitu caranya, periuk di atas pohon, apinya di bawah, kamu tunggu sepuluh hari pun beras itu tidak bakalan jadi nasi.”
“Begini, Baginda,” Abu Nawas berusaha menjelaskan perbuatannya. “Ada seorang pengemis berjanji dengan seorang saudagar, pengemis itu disuruh berendam dalam kolam yang airnya sangat dingin dan akan diupah sepuluh ringgit jika mampu bertahan satu malam. Si pengemis setuju karena mengharap upah sepuluh ringgit dan berhasil melaksanakan janjinya. Tapi si saudagar tidak mau membayar, dengan alasan anak si pengemis membuat api di pinggir kolam.” Lalu semuanya diceritakan kepada Sultan lengkap dengan sikap tuan hakim dan para pembesar yang membenarkan sikap si saudagar. “Itulah sebabnya patik berbuat seperti ini.”
“Boro-boro nasi itu akan matang,” kata Sultan, “Airnya saja tidak bakal panas, karena apinya terlalu jauh.”
“Demikian pula halnya si pengemis,” kata Abu Nawas lagi. “Ia di dalam air dan anaknya membuat api di tanah jauh dari pinggir kolam. Tetapi saudagar itu mengatakan bahwa si pengemis tidak berendam di air karena ada api di pinggir kolam, sehingga air kolam jadi hangat.”
Saudagar itu pucat mukanya. Ia tidak dapat membantah kata-kata Abu Nawas. Begitu pula para pembesar itu, karena memang demikian halnya.
“Sekarang aku ambil keputusan begini,” kata Sultan. “Saudagar itu harus membayar si pengemis seratus dirham dan di hukum selama satu bulan karena telah berbuat salah kepada orang miskin. Hakim dan orang-orang pembesar di hukum empat hari karena berbuat tidak adil dan menyalahkan orang yang benar.”
Saat itu juga si pengemis memperoleh uangnya dari si saudagar. Setelah menyampaikan hormat kepada Sultan dan memberi salam kepada Abu Nawas, ia pun pulang dengan riangnya. Sultan kemudian memerintah mentrinya untuk memenjarakan saudagar dan para pembesar sebelum akhirnya kembali ke Istana dalam keadaan lapar dan dahaga.
Akan halnya Abu Nawas, ia pun sebenarnya perutnya keroncongan dan kehausan.
http://www.sufiz.com/kisah-abu-nawas/abu-nawas-dan-pengemis-yang-kedinginan-dalam-kolam.html

Abu Nawas, Hamil dan Hendak Melahirkan

Sultan Harun Al-Rasyid masygul berat, konon, penyebabnya sudah tujuh bulan Abu Nawas tidak menghadap ke Istana. Akibatnya, suasana Balairung jadi lengang, sunyi senyap. Sejak dilarang datang ke Istana, Abu Nawas memang benar-benar tidak pernah muncul di Istana.
“Mungkin Abu Nawas marah kepadaku,” pikir Sultan, maka diutuslah seorang punggawa ke rumah Abu Nawas.
“Tolong sampaikan kepada Sultan, aku sakit hendak bersalin,” jawab Abu Nawas kepada punggawa yang datang ke rumah Abu Nawas menyampaikan pesan Sultan. “Aku sedang menunggu dukun beranak untuk mengelurkan bayiku ini,” kata Abu Nawas lagi sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.

“Ajaib benar,” kata Baginda dalam hati, setelah mendengar laporan punggawa setianya. “Baru hari ini aku mendengar kabar seorang lelaki bisa hamil dan sekarang hendak bersalin. Dulu mana ada lelaki melahirkan. Aneh, maka timbul keinginan Sultan untuk menengok Abu Nawas. Maka berangkatlah dia diiringi sejumlah mentri dan para punggawa ke rumah Abu Nawas.
Begitu melihat Sultan datang, Abu Nawas pun berlari-lari menyamabut danm menyembah kakinya, seraya berkata, “Ya tuanku Syah Alam, berkenan juga rupanya tuanku datang ke rumah hamba yang hina dina ini.”
Sultan dipersilahkan duduk di tempat yang paling terhormat, sementara Abu Nawas duduk bersila di bawahnya. “Ya tuanku Syah Alam, apakah kehendak duli Syah Alam datang ke rumah hamba ini? Rasanya bertahta selama bertahun-tahun baru kali ini tuanku datang ke rumah hamba,” tanya Abu Nawas.
“Aku kemari karena ingin tahu keadaanmu,” jawab Sultan, “Engkau dikabarkan sakit hendak melahirkan dan sedang menunggu dukun beranak, sejak zaman nenek moyangku hingga sekarang, aku belum pernah mendengar ada seorang lelaki mengandung dan melahirkan, itu sebabnya aku datang kemari.”
Abu Nawas tidak menjawab, ia hanya tersenyum.
“Coba jelaskan perkatanmu. Siapa lelaki yang hamil dan siapa dukun beranaknya,” tanya Sultan lagi.
Maka dengan senang hati berceritalah Abu Nawas. “Knon, ada seorang raja mengusir seorang pembesar istana. Tetapi setelah lima bulan berlalu, tanpa alasan yang jelas, sang Raja memanggil kembali pembear tersebut ke Istana, ini ibarat hubungan laki-laki dan perempuan yang kemudian hamil tanpa menikah. Tentu saja itu melanggar adat dan agama, menggegerkan seluruh negeri.
Lagi pula apabila seorang mengeluarkan titah, tidak boleh mencabut perintahnya lagi, jika itu dilakukan, ibarat menjilat air ludah sendiri, itulah tanda-tanda pengecut. Oleh akrena itu harus berpikir masak-masak sebelum bertindak. Itulah tamsil seorang lelaki yang hendak bersalin, adapun dukun beranak yang ditumggu, adalah baginda kemari,” baginda kemari kata Abu Nawas, adapun beranak yang ditunggu kedatangan Baginda kemari, “kata Abu Nawas.” Dengan kedatangan baginda kemari, berarti hamba sudah melahirkan, yang dimaksud dengan bersalin adalah hilangnya rasa sakit atau takut hamba kepada Baginda.”
“Bukan begitu, kata Sultan. “Ketika aku melarang kamu datang lagi ke istana, itu tidak sungguh-sungguh, melainkan hanya bergurau. Besok datanglah engkau ke istana, aku ingin bicara denganmu. Memang di sana banyak mentri, tetapi tidak seperti kamu. lagipula selama engkau tidak hadir di istana, selama itu pula hilanglah cahaya Balairungku”.
“Segala titah baginda, patik junjung tinggi tuanku,” sembah Abu Nawas dengan takdzim. Tetapi Sutan cuma geleng-geleng kepala. Dan tidak seberapa lama kemudian Sultan pun kembali ke Istana dengan perasaan heran bercampur geli….
Air Susu yang Pemalu
Suatu hari Sultan Harun Al-Rasyid berjalan-jalan di pasar. Tiba-tiba ia memergoki Abu Nawas tengah memegang botol berisi anggur. Sultan pun menegur san Penyair, “Wahai Abu Nawas, apa yang tengah kau pegang itu?”
Dengan gugup Abu Nawas menjawab, “Ini susu Baginda.”
“Bagaimana mungkin air susu ini berwarna merah, biasanya susu kan berwarna putih bersih,” kata Sultan keheranan sambil mengambil botol yang di pegang Abu Nawas.
“Betul Baginda, semula air susu ini berwarna putih bersih, saat melihat Baginda yang gagah rupawan, ia tersipu-sipu malu, dan merona merah.”
Mendengar jawaban Abu Nawas, baginda pun tertawa dan meninggalkannya sambil geleng-geleng kepala.
http://www.sufiz.com/kisah-abu-nawas/abu-nawas-hamil-dan-hendak-melahirkan.html

Abu Nawas dan Harimau Berjenggot

“Hai Abu Nawas,” seru Khalifah Harun Al-Rasyid. “Sekarang juga kamu harus dapat mempersembahkan kepadaku seekor harimau berjenggot, jika gagal, aku bunuh kau.”
Kata-kata itu merupakan perintah Sultan yang diucapkan dengan penuh tegas dan kegeraman. Dari bentuk mulutnya ketika mengucapkan kalimat itu jelas betapa Sultan menaruh dendam kesumat kepada Abu Nawas yang telah berkali-kali mempermainkan dirinya dengan cara-cara yang sangat kurang ajar. Perintah itu merupakan cara Baginda untuk dapat membunuh Abu Nawas.
“Ya tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas. “semua perintah paduka akan hamba laksanakan, namun untuk yang satu ini hamba mohon waktu delapan hari.”
“Baik,” kata Baginda.
Alkisah, pulanglah Abu Nawas ke rumah. Agaknya ia sudah menangkap gelagat bahwa Raja sangat marah kepadanya, dicarinya akal supaya dapat mencelakakan  diriku, agar terbalas dendamnya,” pikir Abu Nawas. “jadi aku juga harus berhati-hati.”
Sesampainya di rumah dipanggilnya emapt orang tukang kayu dan disuruhnya membuat kandang macan. Hanya dalam waktu tiga hari kandang itu pun siap sudah. Kepada istrinya ia berpesan agar menjamu orang yang berjenggot yang datang kerumah. “Apabila adinda dengar kakanda mengetuk pintu kelak, suruh dia masuk kedalam kandang itu,” kata Abu Nawas sambil menunjuk kandang tersebut. Ia kemudian bergegas pergi ke Musalla dengan membawa sajadah.
“Baik,” kata istrinya.
“Hai Abu Nawas, tumben Lu shalat di sini?” bertanya Imam dan penghulu mushalla itu.
Sebenarnya saya mau menceritakan hal ini kepada orang lain, tapi kalau tidak kepada tuan penghulu kepada siapa lagi saya mengadu,” jawab Abu Nawas. “Tadi malam saya ribut dengan istri saya, itu sebabnya saya tidak mau pulang ke rumah.”
“Pucuk dicinta, ulam tiba,” pikir penghulu itu. “Kubiarkan Abu Nawas tidur disini dan aku pergi kerumah Abu Nawas menemui istrinya, sudah lama aku menaruh hati kepada perempuan cantik itu.”
“Hai Abu Nawas,” kata si penghulu, “Bolehkah aku menyelesaikan perselisihan  dengan istrimu itu?”
“Silakan,” jawab Abu Nawas. “Hamba sangat berterima kasih atas kebaikan hati tuan.”
Maka pergilah penghulu ke rumah Abu Nawas dengan hati berbungan-bunga, dan dengan wajah berseri-seri diketuknya pintu rumah Abu Nawas. Begitu pintu terbuka ia langsung mengamit istri Abu Nawas dan diajak duduk bersanding.
“Hai Adinda,,,” katanya. “Apa gunanya punya suami jahat dan melarat, lagi pula Abu Nawas hidupnya tak karuan, lebih baik kamu jadi istriku, kamu dapat hidup senang dan tidak kekurangan suatu apa.”
“Baiklah kalau keinginan tuan demikian,” jawab istri Abu awas.
Tak berapa lama kemudian terdengar pintu diketuk orng, ketukan itu membuat penghulu belingsatan, “kemana aku harus bersembunyi ia bertanya kepada nyonya rumah.
“Tuan penghulu….”  Jawab istri Abu Nawas, “Silahkan bersembunyi di dalam kandang itu,” ia lalu menunjuk kandang yang terletak di dalam kamar Abu Nawas.
Tanpa pikir panjang lagi penghulu itu masuk ke dalam kandang itu dan menutupnya dari dalam, sedangkan istri Abu Nawas segera membuka pintu, sambil menengok ke kiri-kanan, Abu Nawas masuk ke dalam rumah.
“Hai Adinda, apa yang ada di dalam kandang itu.?” Tanya Abu Nawas.
“Tidak ada apa-apa,” jawab Istrinya. “Apa putih-putih itu?” tanya Abu Nawas, lalu dilihatnya penghulu itu gemetar karena malu dan ketakutan.
Setelah delapan hari Abu Nawas memanggil delapan kuli untuk memikul kandang itu ke Istana. Di Bagdad orang  gempar ingin melihat Harimau berjenggot. Seumur hidup, jangankan melihat,  mendengar harimau berjenggot pun belum pernah. Kini Abu Nawas malah dapat seekor. Mereka terheran-heran akan kehebatan Abu Nawas. Tetapi begitu dilihat penghulu di dalam kandang, mereka tidak bisa bilang apa-apa selain mengiringi kandang itu sampai ke Istana hingga menjadi arak-arakan yang panjang. Si penghulu malu bukan main, arang di muka kemana hendak disembunyikan. Tidak lama kemudia sampailah iring-iringan itu ke dalam Istana.
“Hai Abu Nawas, apa kabar?” tanya Baginda Sultan, “Apa kamu sudah berhasil mendapatkan harimau berjenggot?”
“Dengan berkat dan doa tuanku, Alhamdulillah hamba berhasil,” jawab Abu Nawas.
Maka dibawalah kandang itu ke hadapan Baginda, ketika Baginda hendak melihat harimau tersebut, si penghulu memalingkan mukanya ke arah lain dengan muka merah padam karena malu, akan tetapi kemanapun ia menoleh, kesitu pula Baginda memelototkan matanya. Tiba-tiba Baginda menggeleng-gelengkan kepala dengan takjub, sebab menurut penglihatan beliau yang ada di dalam kandang itu adalah penghulu Musalla. Abu Nawas buru-buru menimpali, “Ya tuanku, itulah Harimau berjenggot.”
Tapi baginda tidak cepat tanggap, beliau termenung sesaat, kenapa penghulu dikatakan harimau berjenggot, tiba-tiba baginda bergoyang kekiri dan ke kanan seperti orang berdoa. “Hm, hm, hm oh penghulu…”
“Ya Tuanku Syah Alam,” kata Abu Nawas, “Perlukah hamba memberitahukan kenapa hamba dapat menangkap harimau berjenggot ini di rumah hamba sendiri ?”
“Ya, ya,” ujar Baginda sambil menoleh ke kandang itu dengan mata berapi-api. “ya aku maklum sudah.”
Bukan main murka baginda kepada penghulu itu, sebab ia yang semestinya menegakkan hukum, ia pula yang melanggarnya, ia telah berkhianat. Baginda segera memerintahkan punggawa mengeluarkan penghulu dari kandang dan diarak keliling pasar setelah sebelumnya di cukur segi empat, agar diketahui oleh seluruh rakyat betapa aibnya orang yang berkhianat.
http://www.sufiz.com/kisah-abu-nawas/abu-nawas-dan-harimau-berjenggot.html

Abu Nawas dan Pesta Yahudi

Suatu hari Abu Nawas singgah di rumah kenalannya, seorang Yahudi. Di sana sedang berlangsung permainan musik. Banyak yang menonton sehingga susananya meriah. Semua tamu yang datang terlibat dalam permainan musik itu, termasuk Abu Nawas yang baru saja masuk, ada yang main kecapi, ada yang menari-nari, semua bersuka ria. Demikian asyiknya permainan itu sampai menguras tenaga, karena makan waktu cukup lama.
Dan ketika para tamu sudah pada kehausan, tuan rumah mengedarkan kopi kepada para hadirin. Masing-masing mendapat secangkir kopi. Ketika Abu Nawas hendak menghirup kopi itu, ia ditampar oleh si Yahudi. Namun karena larut dalam kegembiraan, hal itu tidak ia hiraukan, dan diangkatnya lagi cangkirnya, tapi lagi-lagi ia ditampar. Ternyata tamparan yang diterima Abu Nawas malam itu cukup banyak sampai acara selesai sekitar pukul dua dini hari.
Di jalan, baru terpikir oleh Abu Nawas, “Jahat benar perangai Yahudi itu, main tampar aja. Minumnya seperti binatang. Kelakuan seperti itu tidak boleh dibiarkan berlangsung di Bagdad. Tapi apa dayaku hendak melarangnya? Ah, ada satu akal.”
Esok harinya Abu Nawas menghadap Khalifah Harun Al-Rasyid di Istana. “Tuanku, ternyata di negeri tuan ini ada suatu permainan yang belum pernah hamba kenal, sangat aneh.”
“Di mana tempatnya?, tanya baginda Khalifah.
“Di tepi Hutan sana.” “Mari kita alihat,” ajak Baginda. “baik, Kata Abu Nawas. “Nanti malam kita pergi berdua saja, dan tuanku memakai pakaian santri.”
“Tapi ingat.” Kata Baginda, “Kamu jangan mempermainkan aku seperti dulu lagi.”
Setelah shalat Isya, berangkatlah baginda ke rumah Yahudi itu di temani Abu Nawas. Ketika sampai di sana kebetulan si Yahudi sedang asyik bermain musik bersama teman-temannya, maka baginda pun dipersilahkan duduk. Ketika diminta menari, baginda menolak, sehingga ia dipaksa dan ditampar pipinya kiri-kanan.
Sampai disitu Baginda baru sadar, ia telah dipermainkan Abu Nawas. Tapi apa daya, ia tidak mampu melawan orang sebanyak itu. Maka menarilah baginda sampai peluh membasahi badannya yang gemuk itu. Setelah itu barulah di edarkan kopi kepada semua tamu, melihat hal itu Abu Nawas keluar dari ruangan dengan alasan akan kencing, padahal ia langsung pulang.
“Biar baginda merasakan sendiri peristiwa itu, karena salahnya sendiri tidak pernah mengetahui keadaan rakyatnya dan hanya percaya kepada laporan para mentri, “Pikir Abu Nawas.”
Tatkala hendak mengangkat cangkir kopi ke mulutnya, baginda di tampar oleh Yahudi itu. Ketika ia hendak mengangkat lagi cangkir dengan piringnya, ia pun kena tampar lagi. Baginda diam saja, kemudian dilihatnya Yahudi itu minum seperti binatang: menghirup sambil ketawa-ketawa.
“Apa boleh buat,” pikir baginda, “Aku seorang diri, dan tak mungkin melawan Yahudi sebanyak itu.” Larut malam Baginda pulang ke Istana berjalan kaki seorang diri dengan hati yang amat dongkol. Ia merasa dipermainakan oleh Abu Nawas, dan dipermalukan didepan orang banyak. “Alangkah kasihan diriku,” gumamnya.
Pagi harinya, bagitu bangun tidur, Khalifah Harun Al-Rasyid memerintahkan seorang pelayan Istana untuk memanggil Abu Nawas.
“Hai Abu Nawas, baik sekali perbuatanmu malam tadi, terima kasih kamu masukkan aku ke rumah Yahudi itu dan kamu tinggal aku seorang diri, sementara aku dipermalukan seperti itu,” kata Baginda.
“Mohon ampun, ya Baginda,” jawab Abu Nawas. “Malam sebelumnya hamba telah mendapat perlakuan yang sama seperti itu. Apabila hal itu hamba laporkan secara jujur, pasti baginda tidak akan percaya. Maka hamba bawa baginda kesana agar mengetahui dengan mata kepala sendiri perilaku rakyat yang tidak senonoh seperti itu.”
Baginda tidak dapat membantah ucapan Abu Nawas, lalu disuruhnya beberpa pengawal memanggil si Yahudi.
“Hai, Yahudi, apa sebab kamu menampar aku tadi malam,” baginda bertanya dengan sengit. “darimana kamu memperoleh cara minum seperti hewan?”
“Ya tuanku Syah Alam …” jawab si Yahudi. “sesungguhnya hamba tidak tahu akan Duli Syah Alam, jika sekiranya hamba tahu, masa hamba berbuat seperti itu? Sebab itu hamba mohon ampun yang sebesar-besarnya.”
“Sekarang terimalah pembalasanku,” kata Baginda. Yahudi itu dimasukkan kedalam penjara. Dan sejak itu di haramkan orang bermain serta minum seperti binatang. Mereka yang melanggar larangan itu di hukum berat.
http://www.sufiz.com/kisah-abu-nawas/abu-nawas-dan-pesta-yahudi.html

Abu Nawas dan Menteri Bertelur

Pada suat hari Sultan Harun al-Rasyid memanggil sepuluh orang Menterinya “Kalian tahu didepan Istana ini ada sebuah kolam. Aku akan memberikan masing-masing sebutir telur kepada kalian, menyelamlah kalian ke dalam kolam itu dan kemudian serahkanlah telur-telur itu kepadaku apabila kamu muncul kepermukaan. Aku ingin tahu kepandaian Abu Nawas.”
Kemudian sultan menyuruh memanggil Abu Nawas ke Istananya. Kepada Abu Nawas dan kesepuluh orang menterinya itu Sultan bertitah, “Kamu sekalian aku perintahkan turun ke dalam kolam itu, menyelam, dan apabila muncul kepermukaan serahkanlah kepadaku sebutir telur ayam. Barangsiapa tidak menyerahkan telur, niscaya mendapat hukuman dariku.”
gerobak telor lucuMencari telur didalam air? Pikir Abu Nawas, sambil memandang kepada Mentri-mentri itu. Mereka tampak takzim dan siap melaksanakan perintah. “Adakah ayam betina di dalam kolam itu?”
Hari pun malamlah, keesokan harinya, pagi-pagi benar, mentri-mentri itu menyelam kedalam kolam, dan ketika muncul dari dalam kolam, masing-masing membawa sebutir telur dan menyerahkan kepada Sultan. Abu Nawas tidak kunjung muncul di permukaan kolam, ia berenang kesana-kemari mencari telur. Di koreknya dinding kolam, namun tak juga ditemukannya. Setelah capek mengitari dasar kolam, terpikir dalam benaknya bahwa ia dianiaya oleh Sultan. Maka ia pun berdoa kepada Tuhan mohon keelamatan. Keluarlah ia dari kolam dan naik ke darat. Didepan Sultan ia berkokok-kokok dan berjalan laksana seekor ayam jantan.
“Hai, Abu Nawas mana janjimu? Kata Sultan, semua orang ini masing-masing telah menyerahkan sebutir telur kepadaku, hanya kamu yang tidak, oleh karena itu kamu akan aku beri hukuman.”
Sembah Abu Nawas, “Ya tuanku Syah Alam, yang mempunyai telur adalah ayam betina, hamba ini ayam jantan, membawa anak ayam jantan, lagi pula berkokok, telur hanya dapat dihasilkan oleh ayam betina. Jika ayam betina tidak berjantan, bagaimana ia akan dapat telur.”
Demi mendengar alasan Abu Nawas, Sultan pun tidak dapat berkata apa-apa karena memang sangat tepat. Sultan dan semua menterinya hanya bisa garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
http://www.sufiz.com/kisah-abu-nawas/abu-nawas-dan-menteri-bertelur.html

Abu Nawas dan Nazar Seorang Saudagar

“Hai istriku sebaiknya kita bernazar kepada Allah”, kata seorang saudagar kepada istrinya, “Jika kita diberi anak laki-laki, aku akan memotong kambing yang besar dan lebar tanduknya sejengkal, kemudian dagingnya kita sedekahkan kepada fakir miskin.”
Rupanya sang saudagar tersebut sudah sangat merindukan lahirnya seorang anak, karena telah bertahun-tahun berumah tangga tidak kunjung diberi momongan oleh Tuhan. Kemudian ia menyuruh beberapa orang untuk mencari kambing besar bertanduk selebar jengkal, dengan pesan, “Beli saja kambing itu berapapun harganya, tidak usah ditawar lagi.”
Ternyata usaha itu gagal total. Sulit memperoleh kambing dengan lebar tanduk sejengkal, yang ada paling-paling selebar tiga-empat jari. Akibatnya saudagar itu susah, tidurpun tidak nyenyak. Terpilir olehnya untuk mengganti nazarnya itu dengan sepuluh ekor kambing sekaligus. Yang penting kan kambing, bukan binatang lain. Namun rencana itu akan dikonsultasikan dulu dengan beberapa orang penghulu di negeri itu.
Ketika sampai di rumah seorang penghulu ternyata rumah itu sedang digunakan sebagai tempat pertemuan para penghulu seluruh negeri. “Apa maksud kedatangan adan kemari?” tanya penghulu yang tertua.
Ya tuan Kadi.” Jawab si saudagar itu. “Hamba mempunyai nazar yang sulit dipecahkan,” lalu diutarakan kendala yang dihadapi dan rencana penggantiannya.
Tanduk Kambing
Tanduk Kambing
Ternyata para Kadi itu tidak berani memberikan rekomendasi untuk mengganti nazar. Mereka bahkan menyuruh saudagar itu untuk terus mencari kambing bertanduk sejengkal dimanapun dan kemana pun, sesuai dengan nazar semula. “Kami semua tidak berani menyuruh menggantinya dengan yang lain-lain.”
Kenyataan itu semakin bertambah berat beban saudagar itu. Ia pun mohon diri pulang ke rumah. Pada suatu hari ia mendapat kabar, bahwa di Negeri Baghdad ada seorang Raja yang adil, arif dan bijaksana. Namanya Sultan Harun Al-Rasyid. Maka ia pun pasang niat menghadap Sultan ke Bagdad. Sesampai disana kebetulan baginda sedang duduk di Balairung bersama beberapa orang menteri.
“Hai orang muda, engkau berasal dari mana?” tanya baginda setelah melihat kedatangan saudagar muda ini.
“Ya Tuanku Syah Alam,” jawab Saudagar muda. “Ampun beribu ampun, adapun patik ini berasal dari Negeri Kopiah.”
“Apa maksudmu datang kemari, ingin berdagang,” tanya baginda Sultan.
“Ya tuanku, patik datang kemari ingin mengadukan nasib hamba ke bawah duli yang dipertuan,” jawab si saudagar.
“Katakan maksudmu, supaya bisa kudengar,” titah baginda Sultan. Maka diceritakanlah perihal nazar itu sampai kepada keputusan para penghulu negeri kopiah dan niatnya menemui baginda Sultan di Bagdad. “Selanjutnya hamba mohon petuah dan nasehat Baginda agar hamba dapat melepas nazar hamba itu dengan sempurna,” tutur saudagar itu dengan nada menghiba.
“Baikah,” kata Baginda, “Datanglah besok pagi, Insya Allah aku dapat memberi jalan keluar.”
Saudagar itu pun mohon pamit dengan hati berbunga-bunga kembali ketempat penginapannya.
Alkisah, Sultan pun bingung memikirkan nazar Saudagar itu, sepanjang siang dan malam ia tidak dapat memicingkan matanya, dengan apa nazar itu akan di bayar bila kambing bertanduk sejengkal tidak di dapat juga. Diganti dengan yang lain, haram hukumnya. Malam harinya beliau mengumpulkan para Kadi, dan alim ulama di istananya. Kepada mereka beliau menyatakan keresahan hatinya sehubungan dengan nazar saudagar dari kopiah itu. “Tolong berikan pertimbangan kepadaku malam ini juga karena aku sudah terlanjur berjanji kepadanya untuk menerimanya menghadap esok pagi.” Titah Baginda Sultan. “Atau aku akan mendapat malu besar.”
Suasana balairung pun hening, sunyi senyap berkepanjangan. Mereka termenung dan terpekur memikirkan titah Sultannya. Namun tidak juga ditemukan jalan keluarnya.
“Ya Tuanku Syah Alam,” kata salah seorang yang tertua di antara mereka. “Tidak ada hukumnya, baik menurut kitab maupun logika, bahwa nazar itu boleh diganti dengan barang lain,” setelah itu satu persatu mereka mohon diri meninggalkan balairung dan pertemuan pun bubar.
Baginda lalu masuk istana, mau tidur, tetapi mata itu tidak mau diajak kompromi, karena otak masih terfokus pada masalah nazar dan malu besar yang akan dihadapinya esok pagi. Menjelang subuh baginda pun teringat kepada Abu Nawas. Tidak ada manusia yang dapat memutuskan hal ini selain Abu Nawas,” pikir Baginda dengan suka cita. Setelah itu barulah baginda dapat memicingkan matanya, tidur pulas sampai pagi.
Begitu*bangun, diutuslah penggawa memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas tiba dihadapannya, baginda pun mengutarakan perihal nazar saudagar dari negeri Kopiah itu dan semua usaha yang sudah ditempuhnya serta malu besar yang akan didapatnya sebentar lagi, karena para Kadi, dan orang alim seluruh negeri, tidak dapat memberi jalan keluar. Apalagi sebentar lagi saudagar dari kopiah itu akan menghadap ke Istana. “Apa pendapatmu tentang hal itu?” tanya baginda sultan dengan sorot mata ingin tahu jawaban Abu Nawas.
“Ya tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas ringan. “Janganlah tuanku bersusah hati, jika tuanku percaya Insya Allah hamba dapat menyelesaikan perkara ini.”
Tak berapa lama kemudian balairung pun dipenuhi orang-orang yang ingin tahu keputusan Baginda Sultan tentang nazar saudagar dari negeri kopiah itu. Baginda memanggil saudagar tersebut dan memerintahkan Abu Nawas memecahkan masalah itu. “Hai saudagar, bawalah kemari anakmu, dan seekor kambing yang besar badannya,” kata Abu Nawas.
Mendengar perkataan Abu Nawas itu semua orang terheran-heran, termasuk Baginda Sultan dan si saudagar itu. “Apa maksud Abu Nawas kali ini?” pikir mereka.
Si saudagar itu menyatakan kesediaaannya membawa anak dan seekor kambing paling besar serta mohon pamit pulang ke negeri kopiah. Baginda Sultan masuk Istana, melanjutkan tidurnya, dan pertemuan pagi itu pun bubar.
Sesuai dengan janjinya, saudagar itu pun datang kembali ke Bagdad beberapa hari kemudian. Ia membawa istri, anak dan seekor kambing, langsung menghadap Sultan di Istana.
“Datang juga engkau kemari, hai saudagar,” kata Baginda Sultan. “Tunggulah sebentar, akan aku kumpulkan penghulu dan rakyat,” kemudian Baginda menyuruh memanggil Abu Nawas.
Akan halnya Abu Nawas, ketika mengetahui di jemput ke Istana, ia pura-pura sakit. Baginda Sultan yang diberi tahu hal itu memaksa agar Abu Nawas di bawa dengan kereta Kerajaan. Maka berangkatlah Abu Nawas ke Istana dengan mengendarai kereta kencana yang ditarik dua ekor kuda.
“Mengapa kamu terlambat datang kemari?” tanya Baginda Sultan.
“Ya tuanku, patik terlambat datang karena patik sakit kaki,” jawab Abu Nawas.
“Hai Abu Nawas…” kata Sultan. “Saat ini telah datang kemari saudagar itu bersama istri, anak dan seekor kambing yang besar badannya. Coba selesaikan masalah ini dengan baik.”
“Baiklah,” kata Abu Nawas, “Akan hamba selesaikan masalah ini.” Bukan main senang hati Baginda mendengar jawaban itu.
Abu Nawas menarik kambing dan anak saudagar itu. Jari tangan kiri anak tersebut dijengkalkan ke tanduk kambing dan ternyata sama panjangnya. Baginda Sultan dan seluruh yang hadir di balairung heran memikirkan ulah Abu Nawas.
“Ya tuanku, hamba mohon ampun,” kata Abu Nawas. “Jika hamba tidak salah ingat, saudagar itu mengatakan bahwa lebar tanduk kambing itu sejengkal. Karena yang dinazarkan anak ini, jari anak inilah yang hamba jengkalkan ke tanduk kambing itu, dan ternyata pas benar. Jadi kambing ini boleh disembelih untuk membayar nazar. Itulah pendapat hamba. Jika salah, hamba serahkan keputusannya kepada Baginda dan semua orang yang hadir disini.”
“Pendapat Abu Nawas aku kira benar,” kata Baginda Sultan. Dengan sangat meyakinkan.
Bukan main senang hati saudagar itu karena ia dapat membayar lunas nazarnya. Maka diberikanlah hadiah kepada Abu Nawas berupa uang seratur dirham, kemudian ia mohon pamit kepada Sultan, pulang ke negerinya.
http://www.sufiz.com/kisah-abu-nawas/abu-nawas-dan-nazar-seorang-saudagar.html

Kisah Abu Nawas akan Disembelih

Hari itu Abu Nawas sengaja menghabiskan waktunya berkeliling kampung, pinggiran Kota Baghdad. Ia baru pulang saat menjelang maghrib. Ketika lewat Kampung Badui (orang gurun) ia bertemu dengan beberapa orang yang sedang memasak bubur. Suasananya ramai, bahkan riuh rendah. Tanpa disadari ia di tangkap oleh orang-orang itu dan dibawa ke rumah mereka untuk disembelih.
“Mengapa aku ditangkap?” tanya Abu Nawas.
“Hai, orang muda, kata salah seorang diantaranya sambil menunjuk ke belanga yang airnya sedang mendidih, “Setiap orang yang lewat di sini pasti kami tangkap, kami sembelih seperti kambing, dan dimasukkan ke belanga bersama adonan tepung itu. Inilah pekerjaan kami dan itulah makanan kami sehari-hari.”
Meski ketakutan Abu Nawas masih berpikir jernih, katanya, “Lihat saja, badanku kurus, jadi dagingku tidak seberapa, kalau kau mau besok aku bawakan temanku yang badannya gemuk, bisa kau makan untuk lima hari. Aku janji, maka tolong lepaskan aku.”
“Baiklah, bawalah orang itu kemari,” jawab si Badui.
“Besok waktu maghrib orang itu pasti kubawa kemari,” kata Abu Nawas lagi. Setelah saling bersalaman sebagai tanda janji, Abu Nawas pun di lepas.
Di sepanjang jalan menuju rumahnya, Abu Nawas berpikir keras, “Sultan itu kerjanya seharian hanya duduk-duduk sehingga tidak tahu keadaan rakyat yang sebenarnya. Banyak orang jahat berbuat keji, menyembelih orang seperti kambing, tidak sampai ke telinga Sultan. Aneh, kalau begitu. Biar kubawa Sultan ke kampung Badui, dan kuserahkan kepada tukang bubur itu.”
Lantas Abu Nawas masuk ke istana dan menghadap Sultan. Setelah memberi hormat dengan membungkukkan badan, ia berkata, ya tuanku, Syah Alam, jika tuanku ingin melihat tempat yang sangat ramai, bolehlah hamba mengantar kesana. Di sana ada pertunjukan yang banyak dikunjungi orang.”
“Kapan pertunjukan itu dimulai?” tanya sang Sultan.
“Lepas waktu ashar, tuanku,” jawab Abu Nawas.
“Baiklah.”
Abu Nawas pamit pulang, esok sore Abu Nawas siap menemani Sultan ke kampung Badui. Sesampainya di rumah penjual bubur, baginda mendengar suara ramai yang aneh baginya.
“Bunyi apakah itu, kok ramai sekali?” tanya baginda sambil menunjuk sebuah rumah.
“Ya tuanku, hamba juga tidak tahu, maka izinkanlah hamba menengok ke rumah itu, sebaiknya tuan menunggu di sini dulu.” Kata Abu Nawas.
Sesampainya di rumah itu Abu Nawas melapor kepada si pemilik rumah bahwa ia telah memenuhi janjinya membawa seseorang yang berbadan gemuk. “Ia sekarang berada di luar dan akan aku serahkan kepadamu.” Ia kemudian keluar bersama si pemilik rumah menemui Sultan.
“Bunyi apa yang riuh rendah itu?” tanya Sultan.
“Rumah itu tempat orang berjualan bubur, mungkin rasanya sangat lezat sehingga larisnya bukan main dan pembelinya sangat banyak. Mereka saling tidak sabar sehingga riuh rendah bunyinya,” kata Abu Nawas.
Sementara itu si pemilik rumah tadi tanpa banyak cingcong segera menangkap Sultan dang membawanya ke dalam rumah. Abu Nawas juga segera angkat kaki seribu. Dalam hati ia berpikir, “Jika Sultan itu pintar, niscaya ia bisa membebaskan diri. Tapi kalau bodoh, matilah ia disembelih orang jahat itu.”
Akan halnya baginda Sultan, ia tidak menyangka akan dipotong lehernya. Dengan nada ketakutan Sultan berkata, “Jika membuat bubur, dagingku tidak banyak, karena dagingku banyak lemaknya, lebih baik aku membuat peci. Sehari aku bisa membuat dua buah peci yang harganya pasti jauh lebih besar dari harga buburmu itu?” Seringgit” jawab orang itu.
“Seringgit?” tanya Sultan. “Hanya seringgit? Jadi kalau aku kamu sembelih, kamu hanya dapat uang seringgit? Padahal kalau aku membuat kopiah, engkau akan mendapat uang dua ringgit, lebih dari cukup untuk memberi makan anak-istrimu.”
Demi mendengar kata-kata Sultan seperti itu, dilepaskannya tangan Sultan, dan tidak jadi disembelih.
***
Sementara itu Kota Bagdad menjadi gempar karena Sultan sudah beberapa hari tidak muncul di Balairung. Sultan hilang, seluruh warga digerakkan untuk mencari Sultan ke segenap penjuru negeri. Setelah hampir sebulan, orang mendapat kabar bahwa Sultan Harun Al-Rasyid ada di kampung Badui penjual bubur. Setiap hari kerjanya membuat Peci dan si penjualnya mendapat banyak untung.
Terkuaknya misteri hilangnya Sultan itu adalah berkat sebuah peci mewah yang dihiasi dengan bunga , di dalam bunga itu menyusun huruf sedemikian rupa sehingga menjadi surat singkat berisi pesan: “Hai menteriku, belilah kopiah ini berapapun harganya, malam nanti datanglah ke kampung Badui penjual bubur, aku dipenjara di situ, bawalah pengawal secukupnya.” Peci itu kemudian diberikan kepada tukang bubur dan agar dijual kepada menteri laksamana, karena kopiah ini pakaian manteri.”Harganya sepuluh ringgit, niscaya dibeli oleh menteri itu,” pesannya.
Tukang bubur itu sangat senang hatinya, maka segeralah ia pergi kerumah menteri tersebut. Pak menteri juga langsung terpikat hatinya begitu melihat peci yang ditawarkan itu, memang bagus buatannya, apalagi dihiasi dengan bunga diatasnya. Namun ia kaget begitu mendengar harganya sepuluh ringgit, tidak boleh kurang. Dan ketika matanya menatap bunga itu tampaklah susunan huruf. Setelah dia baca, mengertilah dia maksud kopiah itu dan segera dibayarnya.
Malamnya menteri dengan pengawal dan seluruh rakyat mendatangi kampung Badui dan segera membebaskan Sultan dan membawanya ke Istana. sedangkan penghuni kampung Badui itu, atas perintah Sultan, dibunuh semuanya karena perbuatannya terlalu jahat.
Keesokan harinya Sultan memerintahkan menangkap Abu Nawas dan akan menghukumnya karena telah mempermalukan Baginda Sultan. Ketika itu Abu Nawas sedang shalat duhur. Setelah salam iapun ditangkap beramai-ramai oleh para menteri yang diutus kesana dan membawanya pergi ke hadapan sultan.
Begitu melihat Abu Nawas, wajah Sultan berubah garang, matanya menyala seperti bara api, beliau marah besar. Dengan mulut mnyeringai beliau berkata, “Hai, Abu Nawas, kamu benar-benar telah mempermalukan aku, perbuatanmu sungguh tidak pantas, dan kamu harus dibunuh.
Maka, Abu Nawas pun menghormat. “Ya tuanku, Syah Alam, sebelum tuanku menjatuhkan hukuman, perkenankan hamba menyampaikan beberapa hal.”
“Baiklah” kata Sultan, “Tetapi kalau ucapanmu salah, niscaya aku bunuh hari ini juga kamu.”
“Ya Tuanku Syah Alam, alasan hamba menyerahkan paduka kepada si penjual bubur itu adalah ingin menunjukkan kenyataan di dalam masyarakat negeri ini kepada paduka. Karena hamba tidak yakin paduka akan percaya dengan laporan hamba. Padahal semua kejadian yang berlaku di dalam negeri ini adalah tanggung jawab baginda kepada Allah kelak. Raja yang adil sebaiknya mengetahui semua perbuatan rakyatnya, untuk itu setiap Raja hendaknya berjalan-jalan menyaksikan hal ihwal mereka itu. Demikianlah tuanku, jika perkataan hamba ini salah, hukumlah hamba, tetapi bila hukuman itu dilaksanakan juga hamba tidak ikhlas, sehingga dosanya menjadi tanggung jawab tuanku di dalam neraka.”
Setelah mendengar ucapan Abu Nawas, hilanglah amarah baginda. Dalam hati beliau membenarkan seluruh ucapan Abu Nawas itu.
“Baiklah, kuampuni kamu atas segala perbuatanmu, dan jangan melakukan perbuatan seperti itu lagi kepadaku.”
Maka, Abu Nawas pun menghaturkan hormat serta mohon diri pulang ke rumah.
http://www.sufiz.com/kisah-abu-nawas/kisah-abu-nawas-akan-disembelih.html

Abu Nawas, Mengajar Lembu Mengaji Al-Qur’an

“Panggil Abu Nawas kemari hari ini juga,“ titah Sultan Harun Al-Rasyid kepada seorang hambanya.
“Tuan Abu Nawas …” kata si hamba raja sesampai di rumah Abu Nawas, “Tuan Hamba dipersilahkan Baginda datang ke istana hari ini juga.”
Hanya berjarak setengah jam setelah hamba sahaya tadi sampai di istana, Abu Nawas pun tiba di sana.
“Hai Abu Nawas …” kata Sultan, “Tahukah kamu mengapa kamu aku panggil kemari? Aku minta tolong kepadamu untuk mengajari lembuku supaya bisa mengaji Al-Qur’an. Jika lembu itu tidak dapat mengaji, niscaya aku akan menyuruh mereka membunuh kamu.”
“Baiklah Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas, “Titah tuanku patik junjung di atas kepala patik.” Kemudian Abu Nawas di suruh pulang dengan menghela seekor lembu. Sesampai dirumah lembu itu diikat erat-erat pada sebatang pohon kurma.
Esok harinya Abu Nawas mulai memukul lembu itu dengan sebuah cambuk rotan sampai setengah mati. Ketika binatang itu hampir mengamuk, Abu Nawas mengucapkan kata “atau”, “atau”, “atau”. Perkataan itulah yang diajarkan Abu Nawas kepada lembu itu sambil tetap mengayunkan cambukannya tanpa henti. Pekerjaan itu ia lakukan setiap hari pagi sampai tengah hari dan dari dhuhur sampai maghrib selama beberapa hari sehingga tidak terpikirkan untuk menghadap ke istana.
Setengah bulan kemudian baginda menyuruh seorang hamba melihat ke rumah Abu Nawas, apakah dia mampu mengajari lembu itu mengaji atau tidak.
Apa yang disaksikan oleh hamba sahaya tadi di rumah Abu Nawas, tiada lain cambukan yang dilancarkan oleh Abu Nawas ke badan lembu itu sambil berkata ”atau, “atau, “atau” sampai binatang itu kesakitan setengah mati. Maka dilaporkanlah hal itu kepada Baginda Sultan.
“Mohon ampun baginda,” kata hamba sahaya itu sesampai di Istana, “Patik lihat Abu Nawas sedang mengajar lembu itu di belakang rumah dengan sebuah cambuk rotan yang besar. Jika tali pengikatnya tidak kuat pastilah lembu itu lepas dan mengamuk, yang diajarkan tidak lain hanyalah tiga patah kata , yaitu “atau”, “atau”, “atau”.
Baginda terheran-heran mendengar laporan itu, setelah berpikir sejenak baginda bertitah, “Panggil kemari Abu Nawas sekarang juga, aku mau tahu apakah lembu itu sudah bisa mengaji atau belum.”
Tidak lama kemudian Abu Nawas pun sampai di Istana, ia pun datang menyembah.
“Hai Abu Nawas, sudahkah engkau mengajari lembuku itu dan apakah lembu itu sudah bisa mengaji Al-Qur’an?” tanya Baginda Sultan.
Sudah bisa sedikit-sedikit, Ya Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas.
“Tadi aku suruh seorang hamba melihat ke rumahmu, katanya engkau mengajari lembu itu kalimat “atau”, “atau”, “atau”. Aku mau tahu apa artinya perkataan itu?”
“Ampun ke Duli Syah Alam,” kata Abu Nawas. Arti “atau”, “atau”, “atau” itu adalah jika bukan lembu yang mati, atau hamba, atau tuanku, atau tidak ada salah seorang yang mati, hamba tidak akan puas. Sebab sampai habis umurnya sekalipun, binatang itu tidak akan bisa mengaji Al-Qur’an. Itu sebabnya binatang itu hamba cambuk agar mati. Dengan demikian hamba senang karena pekerjaan hamba dapat selesai. Atau hamba yang mati, atau Paduka yang mati, atau salah satu, barulah habis perkara lembu itu.”
Baginda terperanjat di tempat duduknya, tidak dapat berkata sepatah katapun. Setelah tercenung sejenak, baginda berkata. “Kalau begitu lembu itu boleh kamu ambil, atau kamu jual, atau kamu buat sate.”
“Terima kasih banyak-banyak, ya Tuanku Baginda Syah Alam,” kata Abu Nawas sambil menyembah hingga kepalanya menyentuh tanah. Ia pun mohon diri pulang ke rumah dengan langkah ringan dan hati senang.
http://www.sufiz.com/kisah-abu-nawas/abu-nawas-mengajar-lembu-mengaji-al-qur%E2%80%99an.html

Abu Nawas dan Mimpi Indah

Seorang pendeta dan seorang rahib berencana memperdayai Abu Nawas. Rencanapun disusun rapid an mereka segera bertandang kerumah Abu Nawas yang disambut baik oleh yang empunya rumah.
“Kami ingin mengajakmu melakukan pengembaraan suci, wahai Abu Nawas. Kami berharap engkau tidak keberatan dan dapat bergabubg bersama kami,” ujar si Rahib sambil melirik pada kawan di sebelahnya.
“Dengan senang hati aku akan ikut, kapan rencananya?” Tanya Abu Nawas.
“Besok pagi ujar si Pendeta gembira.
“Baiklah kitabertemu di warung teh besok,” uhar Abu Nawas.
Demikianlah keesokan harinya Abu Nawas beserta dua orang yang mengajaknya ini berangkat bersama. Mereka berpakaian dengan cara yang khas. Abu Nawas dengan pakaian sufi, si Pendeta dengan baju kebesarannya, dan si Rahib dengan pakaian keagamaannya. Di tengah perjalanan mereka bertiga mulai merasa lapar.
“Hai Abu Nawas, karena kita sudah sudah lapar dan kebetulan kita tidak membawa bekal, ada baiknya engkau mengumpulkan derma untuk membeli makanan bagi kita bertiga. Kami berdua akan melakukan kebaktian,” ujar si Pendeta.
Tanpa berpikir panjang, Abu Nawas langsung beranjak pergi mencari dan mengumpulkan derma dari satu dusun ke dusun yang lain. Setelah dirasa derma yang diterima mencukupi, Abu Nawas langsung membali makanan yang cukup untuk mereka bertiga. Abu Nawaspun kembali kepada dua temannya yang tengah melakukan kebaktian.
“Mari kita bagi makanan ini sekarang juga,” ujar Abu Nawas yang memang sudah sangat lapar.
“Jangan, jangan dibuka sekarang, karena kami sedang berpuasa,” ujar sang Rahib.
“Tapi aku hanya akan mengambil bagianku saja, sedang bagian kalian terserah kalian,” ujar Abu Nawas.
“Aku tidak setuju, kita harus seiring seirama dalam berbuat apapun,” ujar si Pendeta.
“Betul aku juga tidak setuju, karena waktu makanku besok pagi,” ujar si Rahib yang ahli Yoga menimpali.
Tentu saja Abu Nawas sangat usar mendengar pernyataan kedua orang itu. Perutnya yang keroncongan memaksanya kembali memperotes.
“Bukankah aku yang kalian suruh mencari derma dan sudah kukumpulkan derma itu dan sekarang telah kubelikan makanan. Mengapa kalian tidak mengizinkan aku mengambil bagianku sendiri? Sungguh tidak masuk akal,” ujar Abu Nawas memperotes.
Namun dua orang itu tetap teguh pada pendiriannya sekalipun Abu Nawas dengan segala macam cara menjelaskan tetap saja si Rahib dan Pendeta bergeming. Hal ini membuat Abu Nawas dongkol bukan main, tapi karena dirasa tidak ada gunanya menentang dua orang yang sudah bersekongkol itu, Abu Nawaspun memilih diam.
“Bagaimana kalau kita buat perjanjian?” ujar sang pendeta tiba-tiba.
“Perjanjian apa?” Tanya Abu Nawas.
“Kita adakan lomba, siapa yang nanti malam bermimpi paling indah, maka dia berhak atas bagian makanan yang lebih banyak. Sedang yang kedua mendapat bagian lebih sedikit. Sedang yang mimpinya tidak indah mendapat bagian makanan yang paling sedikit,” ujar Pendeta dengan cerdiknya. Karena sudah dongkol dan kesal, Abu Nawas menyetujui saja perjanjian itu.
Begitu pagi sudah tiba mereka bertiga sudah bangun. Dengan sangat antusias si Rahib lalu menceritakan mimpinya.
“Luar biasa! Semalam aku bermimpi indah sekali. Aku memasuki sebuah taman yang mirip sekali dengan Nirwana. Aku merasakan suatu kenikmatan dan keindahan yang belum pernah kurasakan seumur hidupku,” ujar Rahib dengan gembiranya.
“Mimpimu sangat menakjubkan saudara Rahib, sangat menakjubkan…,” ujar si Pendeta dengan agak berlebihan.
“Mimpiku pun tak kalah indahnya,” ujar Pendeta, “Aku seolah-olah menembus ruang dan waktu. Aku menyusup ke masa silam di mana pendiri agamamu hidup. Dan sungguh sangat membahagiakan aku bertemu dengannya dan kemudian aku diberkati olehnya,” ujar sang Pendeta dengan gembiranya.
“Seperti tadi, kini giliran Rahib memuji-muji mimpi si Pendeta. Sementara Abu Nawas diam saja melihat kelakuan dua orang yang memang bersekongkol memperdayai dirinya itu.
“Hai Abu Nawas, kenapa kau diam saja. Apa mimpimu semalam, apakah seindah mimpi kami?” ujar si Rahib dan Pendeta hamper bersamaan.
Abu Nawas yang sudah tahu dirinya tengah dikerjai, hanya berujar pelan.
“Kawan-kawanku sepengembaraan. Kalian tentu mengenal Nabi Daud as. Beliau adalah Nabi yang ahli berpuasa, tadi malam aku bermimpi bertemu dan berbincang-bincang dengannya. Beliau menanyakan apakah aku berpuasa atau tidak. Karena aku belum makan dari pagi, maka aku bilang saja bahwa aku berpuasa. Tidak tahunya beliau menyuruhku berbuka karena hari sudah malam. Tentu saja aku tidak berani membantah perintah seorang Nabi. Makanya aku bangun dan langsung menghabiskan semua makanan,” ujar Abu Nawas dengan santainya.
http://www.sufiz.com/kisah-abu-nawas/abu-nawas-dan-mimpi-indah.html

silsilah nabi/rasul


Sabtu, 07 Januari 2012

Biografi Mbah KH. Ali Maksum Lasem

Ali bin Maksum bin Ahmad dilahirkan di Lasem Rembang Jawa Tengah pada tanggal 2 Maret 1915. Ayahnya, Maksum adalah pendiri Pondok Pesantren Al-hidayah Lasem Rembang. Nama aslinya hanyalah Ali. Sedangkan Nama Ali Maksum adalah gabungan dari nama ayahnya.
Ali Maksum dikenal sebagai gurunya para intelektual Muslim. Di antara para intelektual Muslim yang pernah berguru kepadanya adalah, KH Abdurrahman Wahid, KH Chalil Bisri, KH Masdar Farid Mas'udi, KH Ahmad Musthofa Bisri, dan sebagainya.
Menurut Gus Mus, panggilan akrab KH Ahmad Musthofa Bisri, KH Ali Maksum dan ayahnya KH Bisri Mustofa adalah guru yang paling banyak mempengaruhi perjalanan hidupnya. Kedua kiai itu memberikan kebebasan kepada para santri untuk mengembangkan bakat seni.
Semasa kecil Ali Maksum dibimbing langsung oleh ayahnya. Sejak usia dini, ia sudah akrab dengan dunia pesantren dan kitab kuning. Pertama kali, Ali Maksum diajari mengaji Alquran oleh ayahnya. Setelah lancar, Ali Maksum dikirim ayahnya untuk belajar di Pondok Pesantren Termas Pacitan di bawah asuhan KH Dimyati. Sejak di Termas inilah, Ali Maksum terlihat menonjol dan akhirnya ikut membantu gurunya mengajar dan mengurus pesantren dan membuat karangan tulisan.
Ali Maksum dikenal cerdas dan tekun. Ia akhirnya ditunjuk menjadi kepala madrasah di Pondok Pesantren Termas Pacitan. Selama delapan tahun di Termas, Ali Maksum mempelajari dan menguasai berbagai cabang ilmu agama.
Setelah dewasa, Ali Maksum menikah dengan Hasyimah, putri KH M Munawwir al-Hafidh al-Muqri Krapyak Yogyakarta. Tidak lama setelah menikah, dengan dibantu oleh seorang saudagar Kauman Yogyakarta Ali Maksum berhaji ke Mekah. Kesempatan ini beliau gunakan pula untuk belajar ilmu agama kepada para ulama Mekah.
Di Mekah, Ali Maksum belajar agama kepada Sayyid Alwi al-Maliki al-Hasani, Syaikh Masyayikh Hamid Mannan, Syaikh Umar Hamdan, dan lain-lain. Ketekunan dan kecerdasannya, akhirnya mengantarkan dirinya menjadi ulama yang fasih berbahasa Arab.
Setelah dua tahun mengaji di Mekah, Ali Maksum kembali ke tanah Jawa pada masa pemerintahan Jepang tahun 1942. Ketika itu pesantren ayahnya di Lasem nyaris bubar. Sedianya beliau hendak tinggal di Lasem membantu ayahnya mengembangkan pesantren. Namun, sepeninggal KH Munawwir Krapyak, pondok Krapyak membutuhkan dirinya untuk melanjutkan perjuangan di bidang pendidikan. Bersama-sama dengan KH R Abdullah Affandi Munawwir dan KH R Abdul Qadir Munawwir, ia menghabiskan umur dan segenap daya upaya untuk merawat dan mengembangkan pondok Krapyak. Dari pondok Krapyak inilah cikal bakal pesantren Alquran di Indonesia.
Pesantren yang diasuhnya semakin mengalami perkembangan. Dalam bidang pendidikan pesantren, Ali Maksum merintis pola semi modern dengan sistem klasikal hingga berkembanglah madrasah-madrasah hingga saat ini. Dari kesabaran dalam berjuang pondok Krapyak yang diasuhnya telah berdiri dan berkembang Taman Kanak-Kanak, Madrasah Diniyyah, Madrasah Tsanawiyyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Tahfidzil Quran dan Madrasah Takhassusiyah untuk para santri mahasiswa. Di samping itu kemajuan telah dicapainya dalam bentuk pembangunan sarana dan prasarana fisik.
Selain mengasuh pesantren, Ali Maksum juga diminta untuk menjadi dosen luar biasa pada Institut Agama Islam Negeri (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di bidang kemasyarakatan dan politik, Ali Maksum pernah menjadi anggota majlis Konstituante, sebuah lembaga pembuat Undang-Undang Dasar pada masa rezim Orde Lama.
Dalam organisasi Nahdlatul Ulama, Ali Maksum pernah memangku jabatan sebagai Rais 'Am Syuriyyah yang mengantarkan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama keluar dari jalur politik pada masa rejim Orde Baru.
Sejak tahun 1970, Ali Maksum telah memangku jabatan Rais Syuriah Pengurus wilayah NU Yogyakarta. Ia terpilih sebagai Rais 'Am Syuriah Pengurus Pusat Nahdhatul 'Ulama dalam musyawarah alim ulama NU di Kaliurang Yogyakarta pada tahun 1981.
Pada tahun 1984, pada muktamar ke-27 di Sitobondo, Ali Maksum terpilih sebagai penasihat dan muktasyar PBNU sampai wafatnya.
Di sela-sela mengasuh ribuan santrinya, Ali Maksum masih saja menyempatkan diri untuk memberikan pengajian di masyarakat. Ali Maksum telah menulis beberapa kitab, di antaranya; Hujjah Ahlus Sunnah wal Jama'ah (Argumentasi Ahlussunnah wal jama'ah), Tasriful Kalimah fis Shorf (Tasrif Kalimah dalam Shorof), Mizan al-'Uqul fi 'Ilmil Manthiqi (Morfologi Arab yang Jelas), Ilmu Mantiq dan beberapa kitab berbahasa Arab lainnya.
Dari Pondok Krapyak yang dipimpinnya itu telah dilahirkan ratusan kyai dari ribuan santri yang mengaji pada beliau pada kurun 1946 hingga 1989. Pondok Krapyak, beberapa hari sebelum dirinya meninggal, menjadi tempat penyelenggara Muktamar Jam'iyyah Nahdlatul Ulama, pertemuan paling bergengsi organisasi para ulama Indonesia.
KH Ali Maksum wafat pada tangga 7 Desember 1989. Dimakamkan di Dongkelan Bantul Yogyakarta. Sekarang, pengelolaan Pondok Pesantren ditangani oleh lembaga berbadan hukum dengan nama Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta dipimpin oleh KH Attabik Ali, putra pertama dari KH Ali Maksum.
Dicuplik dari buku best-seller 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia.
sumber : http://tambakilmu.blogspot.com/2011/06/biografi-mbah-kh-ali-maksum-lasem.html

Dawuh Kyai

Lidah adalah salah satu kenikmatan yang besar yang dianugerahkan Allah kepada hambaNya, padanya terdapat kebaikan yang banyak dan kemanfaatan yang luas bagi siapa yang menjaganya dengan baik dan mempergunakannya sebagaimana diharapkan syari’at. Dan padanya pula terdapat kejelekan yang banyak dan bahaya yang besar bagi siapa yang meremehkannya (membiarkannya) lalu digunakannya pada jalan atau tempat yang tidak semestinya.
Padahal Allah Ta’ala menciptakan lisan (lidah) itu agar digunakan untuk dzikrullah (menyebut Asma Allah), membaca Al Quran, menasehati manusia dan mengajak mereka kepada jalan Allah dan ketaatan serta memperkenalkan kepada mereka tentang kewajiban-kewajiban mereka terhadap Allah SWT.Maka jika si hamba mempergunakan lidahnya untuk tujuan tersebut, maka dia tergolong orang yang bersyukur kepada Allah atas nikmat lidah itu sendiri. Tapi jika sebaliknya, digunakan bukan pada jalan kebenaran seperti disebutkan di atas, maka dia adalah orang yang berbuat dholim lagi melampaui batas.Kemudian ketahuilah, bahwa perkara lidah ini adalah sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan, sebab dia adalah anggota tubuh yang dominan dalam dhohir manusia dan paling kuat dalam menyeret seorang hamba dalam kebinasaan, ini semua jika tidak dijaga dan dipaksa dengan tuntunan syari’at.Maka Rasulullah SAW sudah menasehati kita agar menjaga lidah dengan baik, minimal dengan jalan tidak banyak berbicara, selagi tidak bermanfaat atau tidak mengandung kebaikan, beliau SAW bersabda (yang artinya):
“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhirat maka berkatalah yang baik, atau (jika tidak), diamlah “. (HR. Bukhori dan Muslim)Rasulullah SAW bersabda (yang artinya):”Semoga Allah merahmati seseorang yang berbicara kebaikan maka dia beruntung, atau diam dari kejelekan maka dia selamat “.Dan banyak riwayat yang sampai kepada kita tentang bahaya lidah ini, diantaranya, hadits Rasulullah saw (yang artinya):”Dan tidakkah nanti seseorang akan diseret ke neraka dengan wajah-wajah mereka (di tanah), terkecuali itu karena ulah lidah-lidah mereka”. (HR. At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim).
Dalam hadits yang lain disebutkan (yang artinya):”Setiap pembicaraan anak adam adalah (saksi yang) memberatkannya, bukan untuk kebaikannya, kecuali Dzikrullah, Amr Ma’ruf dan Nahi Munkar “.Rasulullah SAW bersabda pula (yang maknanya):
“Sungguh ada seorang hamba berbicara dengan satu kalimat, dimana ketika mengucapkannya dia tidak perduli (dengan cuek), tapi berkat satu kalimat itu justru dia terjun ke neraka lebih jauh daripada jarak bintang Tsurayya “.Maka lidah ibarat pedang yang tajam, jika tidak dijaga dengan baik akan membinasakan orangnya, ibarat binatang buas, jika si hamba lengah sedikit maka dia akan menyambar dan mencabiknya dan lidah ibarat juru bicara hati, yang ada disana dilontarkan olehnya, yang terpendam disana ditampakkan olehnya. Maka orang yang sholeh akan diketahui dari cara bicaranya atau pembicaraan yang disampaikannya demikian pula orang jelek akhlaknya dan kaku perangainya dapat diketahui dari apa yang keluar dari lidahnya.Hal mana seperti dikatakan oleh imam Hasan Al Bashri:”Sesungguhnya lidah orang mukmin berada dibelakang hatinya, apabila ingin berbicara tentang sesuatu maka dia merenungkan dengan hatinya terlebih dahulu, kemudian lidahnya menunaikannya. Sedangkan lidah orang munafik berada di depan hatinya, apabila menginginkan sesuatu maka dia mengutamakan lidahnya daripada memikirkan dulu dengan hatinya “.
Ketajaman lidah mengalahkan ketajaman pedang yang mampu membelah besi dan daya penghancur (rusak)nya sangat kuat mengalahkan cuka dalam merusak madu yang manis, seperti diriwayatkan Ibnu Abi Dunya, Rasulullah saw bersabda:”Tidak ada satupun jasad manusia, kecuali pasti kelak akan mengadukan lidah kepada Allah atas ketajamannya”.
Beliau saw bersabda pula :”Sesungguhnya kebanyakan dosa anak Adam berada pada lidahnya” (HR. Ath Thabarani, Ibnu Abi Dunya dan Al Baihaqi)Keutamaan menjaga lidahAl Imam Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin berkata: “Ketahuilah bahwa lidah bahayanya sangat besar, sedikit orang yang selamat darinya, kecuali dengan banyak diam “. Oleh sebab itu, Pembuat syari’at memuji dan menganjurkan diam, Nabi Muhammad SAW bersabda (yang artinya):”Barang siapa yang diam, pasti dia selamat ” (HR. At Tirmidzi)
Luqman Al Hakim berkata: “Diam itu adalah kebijaksanaan, namun sedikit sekali orang yang melakukannya”.
Abdullah bin Sufyan meriwayatkan dari ayahnya, dia berkata:”Aku berkata kepada Rasulullah SAW, wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang islam, dengan suatu perkara yang aku tidak akan bertanya lagi kepada orang lain sesudahmu.”. Nabi saw bersabda: “Katakanlah, aku beriman, kemudian istiqamahlah”. Dia berkata: “Lalu apakah yang harus aku jaga?”, kemudian Rasulullah saw mengisyaratkan dengan tangan beliau ke lidah beliau. (HR. At Tirmidzi, An Nasa’I dan Ibnu Majah).
Uqbah bin ‘Amir bertanya kepada Rasulullah SAW:”Wahai Rasulullah, apakah jalan keselamatan?”, Nabi menjawab: “Tahanlah lidahmu, tinggallah di rumahmu (jangan banyak keluar) dan tangisilah kesalahanmu”. (HR. At Tirmidzi)Mu’adz bin Jabal bertanya kepada Rasulullah Saw: “Wahai Rasulullah perbuatan apakah yang paling utama?”, kemudian Rasulullah menjulurkan lidah beliau yang mulia lalu meletakkan jemarinya diatasnya dengan mengisyaratkan agar menjaganya.Sahl bin Sa’ad meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw, dimana beliau bersabda (yang artinya):”Siapa yang menjamin untukku (agar menjaga) apa yang ada diantara dua janggutnya (lidah) dan yang ada diantara dua kakinya (kemaluan), maka aku menjamin untuknya surga ” (HR. Bukhori)Rasulullah Saw bersabda (yang artinya):”Siapa yang menahan lidahnya pasti Allah menutupi auratnya, siapa yang dapat menahan amarahnya pasti Allah melindunginya dari siksaNya, dan siapa meminta ampun kepada Allah, Dia pasti menerima permohonan ampunannya ” (HR. Ibnu Abi Dunya).Beliau saw bersabda pula:”Simpanlah lidahmu kecuali untuk kebaikan, karena dengan demikian kamu dapat mengalahkan syaitan ” (HR. Ath Thabarani dan Ibnu Hibban)Keutamaan diam
Cara menyelamatkan diri dari bahaya lidah adalah diam, kecuali dari hal yang baik dan mengundang kebaikan. Para salaf pendahulu kita lebih banyak diam daripada berbicara. Sebab dengan diam akan mengurangi dosa dan bahaya yang timbul akibat lidah. Tetapi jika hak-hak Allah dilecehkan, syariat dihina dan Rasulullah direndahkan, maka mereka tidak akan tinggal diam. Mereka akan berbicara dengan lantang dan pasti sekalipun di depan pemimpin yang kejam, sekalipun nyawa adalah taruhannya. Jadi berbicara itu baik jika ditempatkan pada posisinya dan diam itu baik jika ditempatkan pada tempatnya pula. Dan jika dibalik maka rusaklah tatanan Amr Ma’ruf Nahi Munkar.
Bagaimana Imam Syafi’I tidak diam diri, manakala melihat sulthon berbuat ketidakadilan, dengan tegas beliau berbicara, menasehati si pemimpin itu. Tetapi jika ditanyakan sesuatu yang sekiranya tidak perlu jawaban, maka beliau diam, tidak menjawab. Lihatlah bagaimana beliau memposisikan sesuatu pada tempat dan waktu yang layak dan tepat.Sebagian Ulama berkata: “Diam menghimpun beberapa keutamaan, diantaranya keselamatan agama, kewibawaan, konsentrasi untuk berfikir, berdzikir dan beribadah. Dan dalam diam juga terkandung keselamatan dari berbagai tanggung jawab perkataan di dunia dan hisabnya di akhirat”, Allah SWT berfirman (yang artinya):”Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir (Raqib ‘Atid) ” (QS. Qaaf 18)Bahkan diam mendatangkan ibadah yang berpahala, jika diam itu didasarkan karena khawatir berbicara sesuatu yang haram, demi mengharap ridho Allah. Rasulullah saw bersabda (yang artinya):”Maukah kalian aku beritahukan tentang ibadah yang paling mudah dan paling ringan bagi badan? Diam dan akhlak yang baik ” (HR. Ibnu Abi Dunya).Jika anda bertanya, apa sebabnya diam memiliki keutamaan sedemikian besar? Maka ketahuilah bahwa sebabnya karena terlalu banyak penyakit lidah, seperti ghibah, berdusta, mengadu domba, berkata keji, riya’, terlibat dalam kebathilan, bertengkar, marah, menyingkap aurat orang dan lainnya. Oleh karena banyak penyakit dan dosa yang timbul karena lidah, maka yang terbaik adalah banyak diam. Kemampuan menahan lidah adalah jalan keselamatan, oleh sebab itu keutamaan diam sangatlah besar. Wallahu A’lam. *Redaksi
Disarikan dari kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam Al Ghazali dan An Nashoihud Diniyyah karya Al Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad.

Kitab Kuning Dan Perannya Di Pesantren

KKuningOleh: Dr. KH. Affandi Mochtar, MA
Pada umumnya, pesantren dipandang sebagai sebuah subkultur yang mengembangkan pola kehidupan yang unik menurut ‘kaca mata’ umum, modern. Di samping faktor kepemimpinan Kyai, Kitab Kuning adalah faktor penting yang menjadi karakteristik sub kultur tersebut. Selain sebagai pedoman tata cara keberagamaan.
Kitab Kuning difungsikan juga oleh kalangan pesantren sebagai referensi nilai universal dalam mensikapi segala tantangan kehidupan. Ketika Kitab Kuning digunakan secara permanen, dari generasi ke generasi, sebagai sumber bacaan utama bagi masyarakat pesantren yang cukup luas, maka sebuah proses pembentukan dan pemeliharaan tradisi yang unik itu tengah berlangsung.
Yang menarik untuk diamati adalah mengapa harus Kitab Kuning yang dijadikan referensi turun temurun itu? Dan bagaimanakah pesantren memperlakukan Kitab Kuning dalam tradisi pendidikannya? Pengamatan mengenai hal ini mungkin akan mendorong kita menjawab sebuah pertanyaan fundamental: bukankah semestinya Al Qur’an dan Al Hadits yang menjadi referensi mereka?
Dari kalangan pesantren sendiri sejauh ini, sebetulnya belum ada pertanggung jawaban filosofis (argumentatif) yang utuh, dalam pengertian modern, mengenai penempatan Kitab Kuning sebagai referensi nilai-nilai universal mereka. Belakangan memang ada usaha-usaha penjelasan dari mereka, misalnya dari Abdurrahman Wahid, Ali Yafie, Masdar F. Mas’udi, Sahal Mahfudz, Tolhah Hasan, Chozin Chumaedi dan A Malik Madani lewat berbagai tulisan mereka. Namun, penjelasan mengandung unsur kritis dan evaluatif, jadi keberadaan mereka lebih dianggap mewakili penjelasan kalangan pesantren pembaharu. Terlepas dari anggapan ini, nampaknya memang masih perlu dilakukan kajian yang lebih serius untuk memahami paradigma sebenarnya yang ada di balik pemeliharaan dan pengajaran Kitab Kuning yang permanen itu.
Alasan pemilihan Kitab Kuning mungkin bisa dirumuskan, antara lain, dengan mempertimbangkan perkembangan tradisi intelektual Islam Nusantara yang pernah kita bahas. Sejak periode paling dini, bersamaan dengan proses internasionalisasi – yang berarti Arabisasi – dokumentasi mengenai ajaran-ajaran Islam selalu dilakukan dalam bahasa Arab, paling tidak dengan menggunakan huruf Arab. Arabisasi seperti itu tidak lain menempatkan ‘keislaman’ di Indonesia selalu dalam konteks universal.
Proses seperti ini terus berlanjut – sejalan dengan semakin kuatnya intervensi bahasa Arab ke dalam bahasa-bahasa di Nusantara – , dan pesantren tampaknya hanya melanjutkan proses ini saja. Hal ini mencapai momentumnya ketika pesantren dalam tekanan kekuatan asing, dan ia melakukan gerakan defensif non-kooperatif. Pemasok utama nilai dan pengetahuan yang dapat dipercaya dalam situasi seperti itu adalah Kitab Kuning yang sudah beredar sangat luas di lingkungan mereka. Kalaupun ada pasokan baru – dan ini sangat banyak ketika alumni Timur Tengah kembali ke Indonesia – prosesnya tetap harus mempertimbangkan standar Kitab Kuning yang sudah menyebar itu, kecuali setelah terbukanya kembali hubungan pesantren dengan ‘dunia umum’, sejak kira-kira tiga dasawarsa yang lalu.
Mas’udi mencoba melihat masalah ini dari sudut lain, yang lebih inherent dalam kehidupan pesantren, yaitu berkaitan dengan pandangan kalangan pesantren mengenai ‘ilmu’. Bagi masyarakat pesantren, ilmu adalah sesuatu yang bisa diperoleh melalui jalan pengalihan, pemwarisan, transmisi, bukan sesuatu yang bisa diciptakan, created. Dalam salah satu Kitab Kuning yang menjadi pedoman belajar kalangan pesantren, Ta’lim al Muta’allim Tariq al-Ta’allum, diajarkan bahwa “Ilmu adalah sesuatu yang kamu ambil dari lisan rijal (guru/kyai), karena mereka itu telah menghafal bagian yang paling baik dari yang mereka dengar dan menyampaikan bagian yang paling baik dari yang pernah mereka hafal.”
Di kalangan pesantren memang diakui ‘cara lain’ untuk memperoleh ilmu – jadi tidak hanya dengan cara transmisi seperti itu. Namun demikian, ‘cara lain’ yang dimaksud bukanlah cara yang lebih rasional (nalar) melainkan cara yang bersifat gaib dalam proses hubungan langsung manusia dengan Yang Maha Berilmu, identik dengan proses pewahyuan. Kalangan pesantren menyebutnya sebagai ilmu ladunni.
Bagi masyarakat pesantren, dengan demikian, ilmu dipandang sebagai sesuatu yang suci, sacred. Tidak boleh spekulatif, akal-akalan. Puncak dari pandangan ini, ilmu dianggap wahyu tersendiri, atau, paling tidak, ia hadir sebagai penjelas wahyu. Seperti halnya wahyu yang hanya bisa ‘dimonopoli’ oleh Nabi, ilmu juga diyakini hanya bisa dikuasai oleh ilmuwan, ulama. Pandangan mereka seperti itu nampaknya dipengaruhi oleh pemahaman mereka terhadap hadits, “al ulama warasat al anbiya”. D
engan pandangan keilmuan yang demikian ketat, tidak dinamis, maka pengajaran dan pendidikan yang berlangsung selalu merupakan pengulangan sebatas ‘kata-kata’ ulama. Ada dua konsekuensi yang saling terkait karena hal ini:
Pertama, keseragaman akan dengan mudah menjadi ciri yang sangat mencolok. Kalau saja terjadi perbedaan, maka perbedaan itu hampir bisa dipastikan hanya dalam pengungkapannya saja. Kedua, kitab sebagai karya ulama (terdahulu) yang memberikan keterangan langsung terhadap kata-kata wahyu adalah sentral, sedangkan Kyai yang memberikan keterangan atas kitab itu adalah subordinat, atau sekadar alat untuknya (tidak berhak mengevaluasinya).
Dalam jangkauan sejarah yang lebih luas, pendapat van Bruinessen, yang selaras dengan pandangan Mas’udi di atas, tampaknya cukup penting untuk dicatat. Menurutnya Kitab Kuning yang berkembang di Indonesia pada dasarnya merupakan hasil pemikiran ulama abad pertengahan, mulai abad ke-10 M hingga abad ke-15 M. Tradisi keilmuan yang berkembang pada masa-masa itu bertolak dari pandangan keilmuan yang sangat ketat; ‘dalam tradisi [intelektual] abad pertengahan, semua ilmu pada dasarnya sudah merupakan sistem pengetahuan yang pasti”. Gagasan untuk menyempurnakan siste ilmu pengetahuan dianggap sesuatu yang menyimpang dan mengaburkan. Van Bruinessen kemudian merujuk pandangan Aziz al-Azmih yang meneliti dasar-dasar metafisika pemikiran Arab. Ia akhirnya menyimpulkan:
“Jadi, karya mengenai topik apapun hadir dalam tujuh bentuk: kompilasi yang tidak komplit, koreksi atas kesalahan-kesalahan teks, penjelas terhadap masalah yang samar, peringkasan dari teks panjang, pengumpulan teks yang terpisah-pisah, perapihan susunan bahan yang kurang teratur, dan pengambilan/pencuplikan kesimpulan.”
Beberapa alasan di atas nampaknya cukup untuk sekadar memahami penempatan Kitab Kuning yang begitu penting di dalam sistem keilmuan pesantren. Namun, bagi sebagian kalangan pesantren sendiri, alasan-alasan seperti itu mungkin akan dianggap kurang idealis. Mungkin juga terkesan bahwa Kitab Kuning dalam konteks perlembangan pemikiran keislaman di Indonesia sejauh alasan-alasan di atas bernilai statis. Bukankah dalam kenyataannya Nusantara/Indonesia adalah wilayah ‘pinggiran’ dalam peta peradaban Islam, sehingga kehadiran dan perkembangan Kitab Kuning itu sendiri dapat diartikan sebagai faktor dinamis? Paling tidak dalam proses pengayaan pengetahuan ajaran-ajaran Islam, tidakkah Kitab Kuning di pesantren menjadi sangat signifikan? Dalam kaitan ini, Ali Yafie memberikan pandangannya:
“ Peran kitab tersebut (Kitab Kuning) sebagai salah satu unsur mutlak dari pengajaran/pendidikan pesantren adalah sedemikian pentingnya dalam proses terbentuknya kecerdasan intelektualitas dan moralitas kesalehan (kualitas keberagamaan) pada diri peserta didik (thalib/santri).
Dengan beberapa catatan, Abdurrahman Wahid mempertimbangkan segi dinamis perkembangan Kitab Kuning di pesantren. Menurutnya, Kitab Kuning merupakan faktor penting dalam pembentukan tradisi keilmuan yang fiqh-sufistik yang didukung penguasaan ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu adabnya (humanistik) Tanpa Kitab Kuning, dalam pengertian yang lebih kompleks, tradisi intelektual di Indonesia agaknya tidak akan bisa keluar dari kemelut sufi ekstrim dan fiqh ekstrim. Apa yang dicapai oleh Kyai Ihsan Jampes melalui karya-karyanya, Siraj al Thalibin dan Manahij al Imdad, yang masing-masing merupakan komentar atas Minhaj al Abidin dan Iryad al Ibad, merupakan contoh prestasi intelektual yang mengandalkan Kitab Kuning. “Dalam Manahij al Imdad ini, sekali lagi, terbukti kemampuan ulama di pesantren untuk mengkombinasikan antara kemampuan mendalami ilmu-ilmu agama secara tuntas, di samping mengamalkan tasawwuf secara tuntas pula.” Masalahnya mungkin adalah pesantren dituntut untuk melakukan kreasi baru dan mentransformasikan Kitab Kuning sejalan dengan kecenderungan intelektual modern.
Dengan demikian, kita melihat ada dua pandangan mengenai posisi dan signifikansi Kitab Kuning di pesantren. Pertama, dan mungkin yang paling kuat, kebenaran Kitab Kuning bagi kalangan pesantren adalah referensi yang kandungannya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Kenyataan bahwa Kitab Kuning ditulis sejak lama dan terus dipakai dari masa ke masa menunjukkan bahwa Kitab Kuning sudah teruji kebenarannya dalam sejarah yang panjang. Kitab Kuning dipandang sebagai pemasok teori dan ajaran yang sudah sedemikian rupa dirumuskan oleh ulama-ulama dengan bersandar pada Al Qur’an dan al Hadits.
Menjadikan Kitab Kuning sebagai referensi tidak berarti mengabaikan kedua sumber itu – tetapi pada hakekatnya justru mengamalkan ajaran keduanya. Kepercayaan bahwa kedua Kitab itu merupakan wahyu Allah menimbulkan kesan bahwa al Qur’an dan al Hadits tidak boleh diperlakukan dan dipahami sembarangan. Cara yang paling aman untuk memahami kedua sumber itu – agar tidak terjerumus dalam kesalahan dan kekeliruan yang dibuatnya sendiri – adalah dengan mempelajari dan mengikuti Kitab Kuning. Sebab kandungan Kitab Kuning merupakan penjelasan dan ‘pengejawantahan’ yang siap pakai, dan rumusan ketentuan hukum yang bersumber dari al Quran dan al Hadits, yang dipersiapkan oleh para mujtahid di segala bidang.
Pandangan kedua – yang mulai muncul dalam tiga dasawarsa terakhir – adalah bahwa Kitab Kuning penting bagi pesantren untuk memfasilitasi proses pemahaman keagamaan yang mendalam sehingga mampu merumuskan penjelasan yang segar tetapi tidak ahistoris mengenai ajaran Islam, al Qur’an dan al Hadits. Kitab Kuning mencerminkan pemikiran keagamaan yang lahir dan berkembang sepanjang sejarah peradaban Islam.
Untuk menjadikan pesantren tetap sebagai pusat kajian keislaman, maka pemeliharaan bahkan pengayaan Kitab Kuning harus tetap menjadi ciri utamanya. Termasuk dalam proses pengayaan itu adalah penanganan Kitab Kuning dalam lapangan dan masa yang luas, termasuk yang lahir belakangan, al kutub al ashriyyah. Hanya dengan penguasaan Kitab Kuning seperti itulah, kreasi pemikiran keislaman yang serius di Indonesia tidak akan berhenti.
Sumber : kangaffandi.blogspot.com

Al-Qur'an, Kitab Kuning dan Pesantren

Mukadimah
Pada umumnya, pondok pesantren (seterusnya disebut pesantren) dipandang sebagai sebuah sub-kultur yang mengembangkan pola kehidupan yang unik menurut kaca mata umum, modern. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang lahir dan tumbuh dari kultur Indonesia yang bersifat indegenous. Ia tumbuh atas prakarsa dan dukungan masyarakat, serta didorong oleh permintaan dan kebutuhan masyarakat (Madjid, 1997: 3, Sulaiman, 2010: 2). Menurut Van Bruinessen dan Kohlejo (dalam Sulaiman, 2010: 2), walaupun belum diketahui secara pasti kapan pesantren ada untuk pertama kalinya, namun dari pendapat beberapa sejarawan dapat diketahui bahwa pesantren di Indonesia sudah ada sejak zaman Wali Songo.
Pada saat sekarang ini, di tengah perkembangan dunia modernistik yang semakin intensif dan ekstensif adalah suatu fenomena yang menarik jika terdapat kenyataan adanya lembaga pendidikan yang konsisten mengembangkan tradisi akademik dan intelektualisme tradisional secara otonom. Suatu fenomena yang menarik pula apabila di tengah skeptisisme atau bahkan sinisme banyak kalangan terhadap adabtabilitas pesantren (lagging behind the time) namun pada realitasnya ia menunjukkan dinamika yang luar biasa. Dengan tetap mempertahankan tradisi akademik dan intelektualisme tradisionalnya, pesantren tetap eksis dalam hegemoni modernitas yang ada. Kredo pesantren yang diulang-ulang dan dipegang teguh, al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah barangkali menjadi jurus ampuh yang mengantarkan pesantren menjadi sosok yang terlihat modern akan tetapi sekaligus otentik, baik secara manajemen kelembagaan maupun pada tataran ontologi, espitemologi dan aksiologi pemikiran.[1]
Maka tidak mengherankan apabila kemudian berkat kehati-hatian (cautious policy) pesantren dalam merespon modernitas, justru menjadikannya semakin unik dan mendapat lirikan untuk menjadi alternatif banyak lapisan masyarakat di Indonesia.[2] Sekarang saja mulai terlahir suatu anggapan yang diamini bersama bahwa sistem pendidikan pesantren yang mempunyai akar kuat pada masyarakat dan kebudayaan lokal itu bisa merupakan suatu sistem alternatif atau sekurang-kurangnya menambah preferensi-kreatif bagi pembaharuan sistem pendidikan nasional (Abdullah, 2005: 68). Ini lah yang akhir-akhir ini mendongkrak perkembangan pesantren dan menarik perhatian pemerintah untuk mulai memperhatikan potensi besar yang dimiliki pesantren setelah sekian dasawarsa ia ditempatkan pada posisi yang tidak menguntungkan oleh pemerintah melalui politik alienasi.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dinamika perkembangan masyarakat yang sangat pesat pada beberapa dasawarsa terakhir, memunculkan tuntutan-tuntutan baru dalam bidang pendidikan yang semakin baragam, terutama bagi pesantren. Keragaman tuntutan pendidikan tersebut pada gilirannya menimbulkan orientasi pesantren menjadi beragam pula dan secara sosiologis mengantarkan pada pengkategorian tipologi pesantren yang semakin berkembang. Dalam arti, bentuk pesantren yang memang sejak awal sedemikian plural, maka seiring perkembangan dunia, pluralitas pesantren mengonsekwensikan tipologi-tipologi baru yang mencirikan diri dari lainnya yang telah ada.
Dilihat dari segi kurikulum dan materi yang diajarkan, menurut penelitian Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI pada tahun 2004 (dalam Sulaiman, 2010: 5) pesantren dapat digolongkan ke dalam empat tipe, yaitu: 1. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal, dengan penerapan kurikulum nasional pada satuan-satuan pendidikan keagamaan, seperti Madrasah Ibtidaiyyah (MI) untuk tingkat sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyyah (MTs) setingkat SMP, Madrasah Aliyah (MA) setingkat SMA dan Perguruan Tinggi Agama Islam. Juga ada yang menerapkan satuan pendidikan umum, seperti Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi Umum. 2. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dalam bentuk satuan pendidikan keagamaan (madrasah) dengan penerapan kurikulum yang sebagian besar berisi pengetahuan agama. 3. Pesantren yang menyelenggarakan satuan pendidikan non-formal dalam bentuk Madrasah Diniyah (MD) yang menerapkan kurikulum berisi pengetahuan agama. 4. Pesantren yang hanya berfungsi sebagai tempat pengajian.
Rahardjo (dalam Sulaiman, 2010: 5) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa sejak awal pertumbuhannya, pesantren memiliki bentuk yang beragam sehingga tidak ada suatu standarisasi khusus yang berlaku bagi pesantren. Namun dalam perkembangannya tampak adanya pola umum sheingga pesantren dalam dikelompokkan ke dalam dua tipe. Pertama, pesantren modern (khalafiyyah) yang ciri utamanya adalah 1. Gaya kepemimpinan pesantren cenderung korporatif. 2. Program pendidikannya berorientasi pada pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. 3. Materi pendidikan agama bersumber dari kitab-kitab klasik (kitab kuning) dan non-klasik. 4. Pelaksanaan pendidikan lebih banyak menggunakan metode-metode peebelajaran modern dan inovatif. 5. Hubungan antara kiai dan santri cenderung bersifat personal dan kolegial. 6. Kehidupan santri bersifat individualistik dan kompetitif.
Kedua, pesantren tradisional (salafiyyah) yaitu pesantren yang masih terikat kuat oleh tradisi-tradisi lama. Beberapa krakteristik tipe pesantren ini adalah; 1. Sistem pengelolaan pendidikan cenderung berada di tangan kiai sebagai pemimpin sentral, sekaligus pemilik pesantren. 2. Hanya mengajarkan pengetahuan agama 3. Materi pendidikan bersumber dari kitab-kitab klasik atau biasa disebut kitab kuning 4. Menggunakan sistem pendidikan tradisional seperti sistem weton atau bandongan dan sorogan 5. Hubungan antara kiai, ustadz, dan santri bersifat hierarkis 6. Kehidupan santri cenderung bersifat komunal dan egaliter.
Sedangkan Dhofier (dalam Sulaiman, 2010: 5-6) yang melihat pesantren berdasarkan keterbukaannya terhadap perubahan-perubahan sosial, mengelompokkan pesantren dalam dua kategori, yaitu pesantren salafi dan khalafi. Pesantren salafi atau tradisional yaitu pesantren yang masih mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan ilmu agama berdasarkan kitab-kitab kuning sebagai sumber literatur yang utama. Sedangkan penyelenggaraan pendidikannya menggunakan sistem bandongan dan sorogan. Pesantren khalafi adalah pesantren yang telah memasukkan mata pelajaran umum dalam kurikulum pendidikannya, menggunakan sistem klasikal, dan orientasi pendidikannya cenderung mengadopsi sistem pendidikan formal.
Selanjutnya, Dhofier mengemukakan tiga ciri yang pada umumnya dimiliki pesantren. Pertama, pesantren menanamkan nilai-nilai keagamaan yang sama, yaitu ketakwaan sebagai nilai utama. Nilai ini kemudian dijabarkan ke dalam nilai-nilai yang lebih spesifik seperti keikhlasan, kebersamaan, kesederhanaan dan perubahan atau pembaharuan. Kedua, kiai adalah orang yang umumnya tergolong mampu secara ekonomi di lingkungan komunitasnya, sehingga tidak heran apabila ia mampu membiayai sendiri kebutuhan hidup dan pesantrennya tanpa harus tergantung pada pihak lain. Ketiga, prestise dan kharisma yang dimiliki kiai memungkinkan untuk memperoleh akses informasi yang luas, termasuk akses terhadap sumber-sumber keuangan untuk pembiayaan berbagai kebutuhan dalam pengelolaan pesantren.[3]
Identitas pesantren yang pada awal perkembangannya merupakan lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam kini identitas tersebut mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan masyarakatnya. Sungguhpun demikian, pergeseran yang dialami pesantren sama sekali tidak menjadikannya tercerabut dari akar kulturalnya. Pesantren dengan karakterisitik kemandirian dan independensi kepemimpinannya tetap memiliki beberapa fungsi yaitu: 1. Sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transformasi ilmu pengetahuan agam dan nilai-nilai keislaman (Islamic values) 2. Sebagai lembaga pendidikan yang melakukan kontrol sosial (social control) dan 3. Sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering). Dengan demikian paling tidak selama ini pesantren memerankan tiga fungsi sekaligus yaitu: fungsi religius, fungsi sosial dan fungsi pendidikan.
Pendidikan Kitab Kuning di Pesantren
Kitab Kuning adalah salah satu dari elemen pendidikan pesantren yang utama selain kepemimpinan kyai. Dari kitab-kitab ini lah digali segenap tata nilai dan ilmu pengetahuan Islam. Kitab kuning sebagai hasil karya para ulama klasik yang nota bene merupakan kiblat nilai dan intelektual para civitas akademika pesantren menempati posisi yang tinggi setelah Al-Quran dan Al-Sunnah.[4] Dengan mengadaptasi tesis pemikiran Abu Zayd (2000; 9) yang menempatkan budaya Islam-Arab sebagai budaya teks maka tidak berlebihan bagi penulis menempatkan pula bahwa budaya pesantren adalah budaya teks yang terbentuk melalui cara berpikir referensial yang terpusat pada kitab kuning. Jika budaya pesantren adalah budaya teks maka bisa dikatakan pula bahwa budaya pesantren adalah budaya kitab kuning, mengingat kitab kuning adalah teks yang sedemikian utama dan sentral dalam tradisi pesantren.
Mengikuti kategorisasi Hasan Hanafi (2000; 9-10) keilmuan Islam dibagi menjadi tiga rumpun ilmu pengetahuan yaitu: ulum naqliyyah (ilmu-ilmu tekstual yaitu: hadits, tafsir, fiqh, sirah dan ulumul quran), ulum naqliyyah-aqliyyah (tekstual-rasional yaitu: ushul fiqh, filsafat, tasawuf, dan teologi) dan ulum aqliyyah (ilmu-ilmu rasional: sains dan humaniora) maka pesantren pada saat ini menyediakan semua disiplin ilmu tekstual, tekstual rasional maupun rasional murni. Hanya saja karena pesantren lebih mengutamakan praksisme sosial dan penanaman akhlak di samping ilmu pengetahuan maka ketersediaan kitab-kitab dalam ilmu-ilmu tekstual - terutama dalam bidang fiqh dan akhlak - merupakan titik temu semua varian pesantren.
Dalam rumpun ilmu-ilmu tekstual dan tekstual-rasional ada sekitar sembilan ratus (900) judul kitab kuning yang beredar di lingkungan pesantren dengan prosentase 20% yang bersubstansikan fiqh dan ushul fiqh, teologi berjumlah 17 %, bahasa Arab (nahwu, sharf, balaghah) 12 %, hadits Nabi 8%, tasawuf 7 %, akhlak 6%, pedoman doa (wirid, mujarrabat) 5% dan karya puji-pujian kenabian (qishash al anbiya, maulid, manaqib) 6%. Pengadopsian ilmu-ilmu rasional dalam pesantren terjadi seiring perkembagan dunia pesantren yang bergerak kemudian dalam rangka merespon modernitas yang ditandai dengan kebangkitan ilmu-ilmu sains dan humaniora di dunia Islam secara pelan-pelan barangkali untuk yang kali kedua setelah kejayaan rasionalisme Islam pada tujuh abad pertama.[5]
Sedangkan terkait metode pengajaran kitab kuning, pesantren mengenal setidaknya tiga metode yaitu: wetonan (bandongan), sorogan dan hafalan. Metode wetonan merupakan metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dengan memberi makna gandul yang disebut dengan istilah ngasahi dan memberikan catatan bila perlu. Metode sorongan adalah di mana santri membaca kitab dan maknanya satu persatu di depan kiai. Kiai cukup menunjukkan cara baca yang benar. Adapun metode hafalan berlangsung di mana santri menghafal teks yang dipelajarinya baik berupa nadzam (syair) maupun makno gandul dan penjelasannya dalam bahasa daerah (masyhud, 2003; 89). Sedangkan sistem jalsah atau halaqah biasanya merupakan ajang debat akademik baik bagi dan antar santri senior, ustadz maupun kiai yang sudah mumpuni.
Lebih dari itu, pesantren memahami pendidikan tidak hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan melalui sistem dan metode yang ada tersebut, akan tetapi lebih kepada pengamalan ilmu pengetahuan melalui akhlak mulia sebagai the core of pesantren. Pentingnya pembentukan akhlak mulia pada santri dipahami dari perspektif munculnya fenomena pelanggaran tata nilai dan norma sosial di dalam masyarakat yang nota bene seringkali dilakukan kalangan berilmu. Pesantren memahami bahwa ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi dengan akhlak akan jauh berbahaya daripada orang awam yang berakhlak. Pengutamaan akhlak dalam pendidikan pesantren ini barangkali dipahami dari pesan kenabian yang menjelaskan, innama bu’istu li utammima makarima al-akhlaq.
Pesantren memahami bahwa terbentuknya akhlak yang baik pada anak didik tidak bisa berlangsung cepat dan dalam waktu yang singkat. Akhlak yang terkait erat dengan spiritualitas dalam pandangan pesantren sebagaimana diktum Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin, harus diupayakan melalui mujahadah wa riyadhah (kesungguhan dan laku prihatin). Maka pendidikan ilmu pengetahuan di pesantren, di samping berbarengan dengan pendidikan karakter dengan praktik akhlak mulia juga penempaan spiritual melalui ritus mujahadah dan laku prihatin.
Saking kuatnya orientasi akhlak ini, maka tidak heran apabila ijazah sebagai salah satu elemen formal pendidikan bukan lah tujuan utama bagi santri maupun wali santri. Sebab dalam pandangan civitas akademika pesantren, banyak lulusan pesantren yang menjadi orang penting dan mempunyai pengaruh besar di masyarakat, bahkan banyak pula yang menjadi kiai atau suskes dalam usaha mereka meskipun hanya berijazah pesantren atau bahkan tidak berijazah. Menurut Wahid (dalam Sulaiman, 2010; 140) perbedaan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan umum melahirkan perbedaan dalam cara siswa atau santri belajar. Orientasi mengejar nilai atau kelulusan mengharuskan siswa belajar tekun, mengikuti bimbingan belajar atau kalau perlu nyontek. Sementara di kalangan santri ketekunan dalam belajar dibarengi dengan tirakat, serta puasa senin-kamis atau puasa ngrowot (tidak makan nasi dalam jangka waktu beberapa tahun) sehingga pola kerja akal dibarengi dengan kekuatan batin. Lebih jauh Wahid mengemukakan bahwa di pesantren juga tidak ada ujian, kecuali dalam sistem klasikal sehingga tidak ada santri yang nyontek. Kalau santri sudah selesai pengajian suatu kitab maka ditutup dengan pembacaan doa bersama, pemberian ijazah dari kiai, atau izin untuk mengajarkan kitab yang dipelajari kepada orang lain atau ijazah-ijazah kanuragan. Di antara mereka ada yang berkeinginan menjadi ahli agama (ulama) sehingga setelah mempelajari beberapa kitab elementer mereka memperdalam bahasa Arab sebagai alat untuk memperdalam kitab-kitab fiqh, ushul fiqh, hadits, sastra, tauhid, tarikh dan akhlak.
Kitab Kuning: Posisi dan Signifikansi
Di samping faktor kepemimpinan kiai, kitab kuning adalah faktor penting yang menjadi karakteristik pesantren sebagai sub-kultur. Selain sebagai pedoman bagi tata cara keberagamaan, kitab kuning difungsikan sebagai referensi nilai universal dalam menyikapi segala tantangan kehidupan. Ketika kitab kuning digunakan secara permanen dari generasi ke generasi sebagai sumber bacaan utama bagi masyarakat pesantren yang cukup luas maka sebuah proses pembentukan dalam pemeliharaan tradisi yang unik itu tengah berlangsung. Yang menarik untuk diamati adalah mengapa harus kitab kuning yang dijadikan referensi turun temurun itu? Bagaimanakah pesantren memperlakukan kitab kuning dalam tradisi pendidikannya? Pengamatan akan hal ini mungkin akan mendorong kita menjawab sebuah pertanyaan fundamental; Bukankah Al-Quran dan Al-Sunnah yang menjadi referensi mereka? (Affandi Mochtar dalam Marzuki Wahid, dkk (Ed) 1999: 230).
Alasan pemilihan kitab kuning, menurut sebagian kalangan,  bisa dijelaskan dengan mempertimbangkan perkembangan tradisi intelektual Islam Nusantara. Sejak periode paling dini bersamaan dengan proses internasionalisasi yang berarti arabisasi, dokumentasi tentang ajaran-ajaran Islam selalu dilakukan dengan bahasa Arab. Arabisasi semacam ini tidak lain menempatkan keislaman di Indonesia selalu dalam konteks universal. Proses semacam ini terus belanjut sejalan dengan semakin kuatnya intervensi bahasa Arab ke dalam bahasa-bahasa daerah dan pesantren nampaknya hanya melanjutkan proses ini saja. Hal ini mencapai momentumnya ketika pesantren berada dalam tekanan kekuatan asing dan melakukan gerakan defensive non-kooperatif terhadapnya.
Mochtar (dalam Marzuki Wahid, dkk (Ed) 1999: 233) memaparkan penjelasan Mas’udi yang melihat masalah ini dari sudut lain yang lebih inheren dalam kehidupan pesantren, yakni berkaitan dengan pandangan kalangan pesantren tentang ilmu. Bagi masyarakat pesantren, ilmu adalah sesuatu yang hanya bisa diperoleh melalui jalan pengalihan, pewarisan, transmisi dan bukan sesuatu yang bisa diciptakan, created. Dalam salah satu kitab kuning yang menjadi pedoman belajar kalangan pesantren, Ta’lim Al-Muta’allim fi Thariq Al-Ta’allum, diajarkan bahwa ilmu adalah sesuatu yang kamu ambil dari lisan rijal (guru atau kiai) karena mereka telah menghafal bagian yang paling baik dari yang mereka dengar dan menyampaikan bagian yang paling baik dari yang pernah mereka hafal.
Di kalangan pesantren memang diakui adanya cara lain untuk memperoleh ilmu tidak hanya dengan transmisi seperti itu. Namun cara lain yang dimaksud bukan lah cara yang paling rasional melainkan cara yang bersifat gaib dalam proses hubungan langsung manusia dengan Yang Maha Berilmu dan identik dengan proses pewahyuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui cara lain ini oleh kalangan pesantren diakui sebagai ilmu ladunni. Dengan demikian, bagi masyarakat pesantren, ilmu dipandang sebagai sesuatu yang suci, sakral, tidak boleh spekulatif dan akal-akalan. Puncak dari padangan ini adalah ilmu dianggap wahyu tersendiri atau, paling tidak, hadir sebagai penjelas wahyu. Seperti halnya wahyu yang hanya dimonopoli oleh Nabi, ilmu diyakini juga hanya bisa dikuasai oleh ilmuan (ulama). Pandangan mereka ini tampaknya dipengaruhi oleh pemahaman mereka tentang hadits Nabi; Al-ulama warasatul anbiya (ulama adalah pewaris para Nabi).
Dengan pandangan keilmuan yang sedemikian ketat, tidak dinamis, pengajaran dan pendidikan yang berlangsung selalu merupakan pengulang-ulangan sebatas kata-kata ulama. Ada dua konsekwensi yang saling berkaitan dengan hal ini. Pertama, keseragaman (homogenitas) akan dengan mudah menjadi ciri yang sangat mencolok. Kalu saja terjadi perbedaan maka perbedaan itu hampir bisa dipastikan hanya dalam pengungkapan (ibarah)-nya saja. Kedua, kitab sebagai karya para ulama terdahulu yang memberikan keterangan langsung tentang kata-kata wahyu bersifat sentral. Sementara kiai yang memberikan keterangan atas kitab itu hanyalah subordinat atau sekedar alat baginya- tidak berhak mengevaluasinya (Mochtar dalam Marzuki Wahid, dkk (Ed.), 1999: 235)
Pandangan Mochtar dan Mas’udi benar dengan pendekatan historis-positifistik-obyektifistik semacam itu terhadap fenomena keilmuan pesantren dan pandangan mereka tentang ilmu. Akan tetapi dengan pendekatan fenomenologis, kegandrungan pesantren untuk selalu mempertimbangkan kitab kuning sebenarnya lahir sebagai hasil pemahaman dan penghayatan yang dalam para ulama pesantren tentang metodologi penalaran Islam yang memang harus dimulai dengan apresiasi pendapat ulama-ulama sebelumnya terlebih dahulu sebelum secara independen menentukan suatu status pengetahuan melalui Al-Quran dan Al-Sunnah. Al-Ghazali (2010; 585) menjelaskan bahwa seorang mujtahid pun tidak diperkenankan langsung berijtihad melalui Al-Qur’an dan Al-Sunnah akan tetapi memperhatikan Ijma’ para ulama yang nota bene banyak tercecer dalam kitab-kitab kuning. Seorang ulama kontemporer yang kesohor di seluruh dunia pun, Yusuf Al-Qaradhwi (1998: 24) membagi ijtihad menjadi dua yaitu ijtihad intiqai (selektif) dan ijtihad insyai (konstruktif). Dengan ijtihad intiqai, para ulama sudah harus pasti mengetahui pendapat ulama terdahulu yang terkodifikasi dalam kitab kuning dan melakukan penyulingan (seleksi) dan pengunggulan (preferensi) jika diperlukan.
Ontologi Kitab Kuning
Beberapa dasawarsa yang lalu, kitab kuning pernah dihadapkan pada pandangan-pandangan yang nyinyir tentang dirinya. Kitab kuning dianggap mewakili keterbelakangan (al-takhalluf) budaya sekaligus intelektual di kalangan non-pesantren. Ia tidak hanya dianggap berkadar ilmiah rendah, out of mode dan murahan akan tetapi juga, sebagaimana tasawuf dikambing-hitamkan, telah menyebabkan stagnasi umat Islam. Lambat laun suara-suara negatif itu mulai pudar seiring ketrampilan eksponen-eksponen pesantren di dalam menjelaskan kedudukan dan substansi kitab kuning sebenarnya dan kemungkinan dinamisasinya dalam konteks kekinian.
Kitab kuning adalah hasil penalaran para ulama terhadap Al-Qur’an dan Al-Sunnah dengan menggunakan metode tertentu beserta syarat-syarat kualifikasi maupun komptensi khusus yang harus dimiliki. Metode yang prosedural dan syarat kualifikasi maupun kompetensi yang dimilki oleh para ulama lah yang menjadikan proses penalaran terhadap Al-Quran dan Al-Sunnah berjalan sebagaimana seharusnya. Para ulama perlu melakukan penalaran terhadap Al-Quran dan Al-Sunnah mengingat kedua sumber pengetahuan Islam yang absolut ini tidak bisa serta merta dipahami. Sebagai sebuah teks, keduanya mengandaikan analisis sejarah dalam ilm al-riwayah, analisis lingusitik dalam mabahis al-alfadz dan analisis praksis dalam maqashid al-syariah (‘illah) sebagaimana yang berlaku dalam ushul fiqh (metode penalaran hukum Islam) (Hanafi, 1955: 5)
Dus, penalaran yang dilakukan oleh para ulama yang kemudian hasilnya terkodifikasi dalam kitab kuning itu sebenarnya merupakan keniscayaan ketika Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai penjelasnya telah mengklaim sebagai penjelas segala sesuatu yang ada di dunia ini. Para ulama menyadari bahwa teks Al-Quran dan Al-Sunnah terbatas sedangkan kenyataan dunia terus berubah, terbarui dan tidak terbatas. Ini lah yang kemudian memunculkan sebuah kredo terkenal di kalangan ahli ushul fiqh, al-nushush mutanahiyah wa al-waqai’ ghair mutanahiyah, maka ijtihad dengan penalaran adalah sebuah kenicayaan.
Para santri ketika belajar ushul fiqh kemudian mengenal metode penalaran ilmu pengetahuan yang dimulai dengan sumber Al-Quran diikuti Al-Sunnah, Ijma dan Qiyas. Hanya saja, perlu diketahui bahwa sebagaimana konsep bayan Al-Syafi’i (Al-Syafi’i, tt: 15-16) bahwa hierarki sumber pengetahuan itu tidak bediri sendiri pada masing-masing sumber akan tetapi terjadi inter-relasi sehingga perujukan kepada Al-Quran kadangkala perlu bantuan dengan perujukan kepada Al-Sunnah. Sedangkan Ijma’ adalah kesepakatan para ulama atas hal-hal yang tidak diketemukan sumber pengetahuannya di dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Qiyas adalah semacam ijtihad individual atas apa-apa yang tidak ada rujukannya di dalam ketiga sumber sebelumnya yang apabila terjadi perbedaan antara ulama maka akan terjadi ikhtilaf (perbedan pendapat) dan apabila bertemu dalam satu pendapat maka akan terjadi Ijma’.
Penalaran para ulama terhadap Al-Quran dan Al-Sunnah baik dalam merespon kasus-kasus pengetahuan yang ada maupun nihil secara eksplisit di dalam keduanya terkodifikasi di dalam kitab kuning yang digunakan oleh pesantren. Kitab kuning dengan begitu adalah hasil tafsir  yang otoritatif – karena dilakukan oleh ulama yang memenuhi syarat kualifikasi dan kompetensi dengan metode yang prosedural - terhadap Al-Quran dan Al-Sunnah dalam rangka menjelaskan keduanya ataupun merespon hal-hal yang tidak diketemukan sumber pengetahuan di dalam keduanya secara eksplisit.
Para ulama pesantren ketika dihadapkan juga pada kasus-kasus pengetahuan baru pada zamannya maka serta merta mereka akan merujuk kepada kitab kuning yang sudah merupakan produk matang para ulama. Suatu tindakan yang melelahkan apabila mereka harus mengolahnya dari awal melalui perujukan langsung dari Al-Quran dan Al-Sunnah, di samping hal itu juga merupakan tindakan pengabaian terhadap otoritas ilmiah ulama sebelumnya. Dalam banyak kasus, kitab kuning menyimpan hasil penemuan pengetahuan yang berbeda antar ulama maka dalam hal ini para ulama pesantren seingkali mengevaluasi dan melakukan tarjih (preferensi). Lain halnya apabila kasus-kasus pengetahuan baru yang dihadapi para ulama pesantren tidak diketemukan di dalam kitab kuning maka mereka akan berijtihad sebagaimana para ulama berijtihad. Di dunia pesantren, ajang itjihad biasanya dilakukan secara jama’I (kolektif) meski tidak menutup kemungkinan adanya ijtihad fardi (individual) oleh beberapa ulama pesantren.    
Kitab kuning yang merupakan hasil tafsir tehadap Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai sumber pengetahuan islam yang komprehensif terdiri dari berbagai disiplin ilmu sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya. Kitab*kuning dalam disiplin bahasa Arab berkaitan erat terutama dengan masalah-masalah nahwu, shorf dan balaghah. Bidang ini dikategorikan sebagai ilmu alat (instrumental science) yang merupakan pintu masuk (madkhal) untuk mempelajari dan mengkaji kitab kuning lebih jauh. Kitab kuning shorf paling dasar bagi para pemula adalah Al-Bina wa Al-Asas karya Mulla Al-Danqari, kemudian dilanjutkan kitab Al-Tashrif buah karya Ibrahmin Al-Zanzani atau kitab Al-Maqshud. Dalam bidang ini, kitab dalam bahasa jawa pun beredar misalnya kitab Al-Amsilah Al-Tashrifiyyah karya Muhammad Ma’shum bin Ali, asal Lasem, Jawa Tengah. Ada juga satu kitab shorf teramat ringkas dan tidak beredar luas yang sering disebut dengan shorf mlangi hasil anggitan Kyai Nur Iman dari Mlangi, Yogyakarta. Setelah itu setingkat lebih tinggi ada kitab kuning syarkh (komentar) atas Al-Maqshud yaitu Hall Al-Maqal karya Muhammad Ullays (w. 1881 M) dan komentar atas Al-Tashrif yaitu Kaylani karya Ali Ibn Hisyam Al-Kaylani.
Sedangkan dalam bidang Nahwu, kitab kuning pemula adalah Al-Awamil Al-Miah karya Abd Al-Qahir Ibn Abdirrahman Al-Jurjani (w. 471 H). masih termasuk dalam kategori kitab kuning pemula akan tetapi lebih tinggi tingkatannya adalah Al-Muqaddimah Al-Ajrumiyyah karya Abu Abdillah Ibn Dawud Al-Shanhaji bin Ajrum (w. 723 H). Kemudian kajian nahwu tingkat menengah menggunakan Al-Durar Al-Bahiyyah yang dikenal dengan ‘Imrithi karangan Syarf Ibn Yahya  Al-Anshari Al-Imrithi dan lebih tinggi lagi menggunakan kitab kuning Al-Mutammimah karya Samsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Ru’yani Al-Khatabi dan kitab Alfiyyah Ibn Malik beserta kitab kuning syarkh yang dikenal dengan Ibn Aqil anggitan Abdullah bin Abdirrahman Al-Aqil.
Adapun yang membahas balaghah sekurang-kurangnya ada tiga kitab kuning yang terkenal dan digunakan di kalangan pesantren secara luas. Yang pertama adalah kitab Al-Jauhar Al-Maknun karya Abdurrahman Al-Akhdari (w. 920 H/1514 M) kitab syakh dan mukhtashar (resume) kitab ini juga beredar luas masing-masing disusun oleh Ahmad Al-Damanhuri (w. 1177 H/1763 M) dan Makhluf Al-Minyawi. Tak tertinggal KH. Bisri Musthafa asal rembang juga telah turut menejemahkan ke dalam bahasa jawa.  Kitab kuning balaghah yang kedua adalah Al-Mursyid Ala Uqud Al-Juman fi ‘Ilm Al-Maani wa Al-Bayan karya Jalaluddin Al-Suyuthi yang meupakan edisi nadzm dari ‘Ilm Al-Ma’ani wa Al-Bayan karya Sirajuddin Al-Sakkaki. Sedangkan kitab balaghah terakhir yang beredar di pesantren adalah kitab Al-Rislaah Al-Samarqandiyyah karya Abu Al-Qasim Al-Samarqandi.
Selian shorf, nahwu dan balaghah yang termasuk dalam kategori ilmu alat di lingkungan pendidikan pesantren adalah ilmu tajjwid dan mathiq. Obyek bahasan ilmu tajwid khusus diperuntukkan bagi Al-Quran, yakni membahas sekitar kaidah-kaidah dan aturan-aturan bacaan Al-Quran secara tepat dan benar. Di pesantren, yang masyhur dikaji adalah antara lain kitab kuning Tuhfah Al-Athfal karya Sulaiman Jumzuri dan kitab Hidayah Al-Shibyan yang tidak diketahui penulisnya.
Sementara itu ilmu mantiq menyediakan teori-teori logika Aristoteles. Di kalangan pesantren ilmu ini sangat dibutuhkan terutama untuk mempertajam analisis fiqh dan penerapan ilmu ushul fiqh. Kitab kuning yang paling terkenal dalam masalah ini adalah Al-Sulam Al-Munawarraq fi ‘Ilm Al-Manthiq karya Al-Akhdar, pengarang kitab Al-Jauhar Al-Maknun. Komentar atas kitab kuning ini dibuatnya sendiri dalam Idat Al-Mubham min Ma’ani Al-Sulam. Selain itu ada satu lagi kitab kuning manthiq yang selalu dikaji di pesantren yaitu Isaghuzi, karya Atsiruddin Mufadhdhal Al-Bahri (w. 663 H/1264 M).
Sedangkan kitab kuning dalam bidang fiqh hampir semua yang beredar termasuk dalam kriteria fiqh Madzhab Syafi’i. Survei Van Bruinessen dalam hal ini penting untuk dicatat. Ia mengungkapkan bahwa karya-karya fiqh Syafi’i berasal atau merupakan kreasi lanjutan dari tiga kitab kuning yang muncul sebelumnya.[6] Masing-masing adalah kitab Al-Muharrar karya Al-Rafi’i (w. 625 H/1226 M), kitab Al-Taqrib karya Abu Syuja’ Al-Isfahani (w. 593 H/1197 M) dan kitab Qurrah Al-Ayn karangan Al-Malibari (w. 9756 H/1567 M).
Dari garis Al-Muharrar, kitab kuning generasi pertama yang lahir adalah Minhaj Al-Thalibin karya Abu Zakariyya Yahya An-Nawawi (w. 676 H/1277-8 H). Kemudian generasi berikutnya kitab-kitab kuning yang ada merupakan syarkh atas Minhaj yaitu Tuhfah Al-Muhtaj karya Ibn Hajar Al-Haytami (w. 973 H/1565-6 M) dan kitab Nihayah Al-Muhtaj karya Samsuddin Al-Romli (w. 1004 H/1595-6 M). begitu juga Mughni Al-Muhtaj karya Khatib Al-Syarbini (w. 977H/1569-70 M), kitab Kanz Al-Raghibin yang lebih dikenal dengan kitab Al-Mahalli karya Jalaluddin Al-Mahalli (w. 864 H/1460 M) dan kitab Minhaj Al-Thullab karya Zakariyya Al-Anshari (w. 926 H1520 M).
Generasi ketiga dari kitab Al-Muharrar adalah karya Al-Anshari, Fath Al-Wahhab yang merupakan ringkasan dari karyanya sendiri yaitu Minhaj Al-Thullab. Kitab kuning lainnya dari generasi ini hanya merupakan ringkasan dan intisari dari kitab kuning generasi sebelumnya. Sementara itu dari kitab Fath Al-Wahab lahir dua kitab hasyiyah (komentar atas komentar), masing-masing oleh Bujayrimi (w. 1221 H/1806 M) dan Jamal (w. 1204 H/1780-90 M).
Adapun dari kitab Ghayah wa Al-Taqrib karya Abu Syuja juga lahir dan berkembang sejumlah kitab kuning di lingkungan pesantren. Dari kitab ini muncul kitab Al-Iqna’ karya Syarbini (w. 977 H/1569-70 M), kitab Kifayah Al-Akhyar karya Al-Dimasyqi (w. 829 H/1426 M0 dan kitab Fath Al-Qarib karya Ibn Qasim (w. 918 H/1512 M).
Garis lain dari fiqh Syafi’i adalah Kitab Qurrah Al-‘Ayn karya Al-Malibari. Dari sini lahirlah kitab kuning Nihayah Al-Zayn karya Syaikh Nawawi Al-Bantani dan kitab Fath Al-Mu’in karya lanjutan Al-Malibari sendiri. Kemudian dua kitab kuning lain lahir dari kitab Fath Al-Mu’in  yaitu I’anah Al-Thalibin karya Sayyid Bakri (w. 1893 M) dan kitab Tarsyih Al-Mustafidin karangan Alwi Al-Saqqaf (w. 1916 M).
Dalam daftar van den Berg ada garis lain yakni kitab kuning elementer abad ke 9 H, yaitu kitab Muqaddimah Al-Hadhramiyyah karya Abdullah bin Abdul Karim ba-Fadhal. Dari garis ini lahir kitab kuning baru yaitu karya lain Ibn Hajar, Minhaj Al-Qawim, yang kemudian pada abad ke 18 melahirkan kitab kuning Al-Hawasyi Al-Madaniyyah, tulisan kreatif seorang mufti madinah Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi. Melalui garis ini, kitab kuning yang paling terkenal dan beredar di hampir seluruh pesantren di Jawa hanya kitab Minhaj Al-Qawim yang kandungannya terbatas pada fiqh ibadah saja. Adapun dua kitab komentar lagi atas kitab Al-Muqadddimah adalah karya Syaikh Mahfudz Al-Tirmisi dan Busyr Al-Karim bi Syarkh Masail Ta’lim ala Muqaddimat Al-Hadhramiyyah karya Said bin M. Bahsin.
Selain kitab kuning fiqh yang mempunyai hubungan dengan tiga atau empat kitab garis asal muasal di atas, masih ada banyak lagi kitab kuning fiqh yang terkenal di pesantren. Untuk sekedar menyebut beberapa contoh di antaranya adalah kitab Sullam Al-Taufiq karya Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’lawi (w. 1271 H/1855 M) dan Safinah Al-Majah karya Salim bin Abdullah bin Sumair seorang ulama Arab yang tinggal di Jakarta pada pertengahan abad ke 19 M. Kedua kitab ini dipelajari oleh hampir seluruh santri di Indoensia. Jitab kuning lain yang gencar beredar dalam arus pendidikan pesantren adalah kitab Muhadzab karangan Ibrahim Al-Syirazi Al-Fayruzabadi (w. 467 H/1083 M), kitab Bughyah Al-Mustarsyidin, karya Abdurrhaman bin Husayn Al-Ba’lawi dan kitab Uqudullujjain fi Huquq Al-Zawjayn goresan tangan kreatif Syaikh Nawawi Al-Bantani. (Mochtar dalam Wahid, dkk (Ed.), 1999: 241-244).
Dalam bidang Ushul Fiqh pesantren mengenal beberapa kitab di antranya Al-Waraqat karya Imam Al-Haramayn (419-478 H/1028-1085 M), Al-Luma’ fi Ushul Al-Fiqh karya Abu Ishaq Al-Syairazi Al-Syafi’i (w. 476 H), Lathaif Al-Isyarat dan Jam’ Al-Jawami’ karya Tajuddin Al-Subki (w. 769 H) serta Al-Asybah wa Al-Nadzair karya Jalaluddin Al-Suyuthi (849-911 H/1445-1505 M).Kitab Jam’ Al-Jawami’ karya Al-Subki mendapatkan komentar dalam Lubb Al-Ushul karya Abu Zakariya Al-Anshari. Lubb Al-Ushul sendiri mendapatkan komentar oleh Muhammad Al-Jauhari dan Abu Zakariya Al-Anshari dalam Ghayah Al-Wushul. Jalaluddin Al-Mahalli juga mempunyai komentar atas Jam‘ Al-Jawami’ yang kemudian mendapatkan komentar atas komentar dari Al-Bannani (Hanafi, 2004: 33)
Konvensi yang terjadi antara ulama pesantren untuk menjadikan kitab tertentu sebagai text book di pesantren-pesantren mereka dalam kurun waktu yang sekian panjang akhirnya memapankan kitab-kitab tersebut menjadi sumber pengetahuan, terutama keagamaan, di pesantren yang sulit tergantikan. Bukan hanya semata-mata sebuah konvesi yang terjadi akan tetapi karena kitab kuning telah membuktikan dirinya mampu membentuk kerangka berpikir santri yang taat kepada ajaran agama di samping ia sendiri mempunyai potensi besar sebagai sumber pengetahuan untuk merespon berbagai permasalahan hidup dan menerima untuk ditransformasikan dalam konteks kekinian dengan tetap mempertahankan apa-apa yang baik di dalamnya untuk diketahui dan terapkan.
Penutup
Pesantren, dengan Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai sumber pengetahuan yang mutlak dan kitab kuning sebagai penunjang utama kontruksi pengetahuan pesantren, telah menghadapi banyak tantangan di sekian babakan sejarah semenjak masa-masa formatifnya hingga periode perkembangannya kini. Pesantren terbukti mampu mengatasi dan melakukan penyesuaian diri yang terus menerus dengan berbagai pengembangan yang nyata namun kadang tersimpan dengan ciri khas masing-masing tanpa mengorbakan identitasnya.
Sekarang ini, tepatnya pada akhir dasawarsa pertama dan awal dasawarsa kedua abad ke 21, pesantren dihadapkan bukan lagi pada tantangan globalisasi Barat di mana pesantren sanggup mempertahankan karakteristiknya tanpa lebur di dalam hegemoni modernitas, akan tetapi dihadapkan pada isu fundamentalisme dan radikalisme yang sangat mungkin terinpirasi pemikiran dan gerakan wahabisme global dan sudah merangsek semakin intensif dan ektensif di Indonesia. Akan kah pesantren mampu menyikapinya dengan bijak, menjinakkan dan memapankan Islam ala pesantren sebagai Islam rahmatan lil alamin? Tantangan yang tidak mudah bukan?
[1] Menurut Azra (dalam Madjid, 1997: xvi) untuk menghadapi semua perubahan dan tantangan, eskponen pesantren terlihat tidak tergesa-gesa mentransformasikan kelembagaan pesantren menjadi lembaga pendidikan modern Islam sepenuhnya tetapi sebaliknya cenderung mempertahankan kebijaksanaan hati-hati (cautious policy); mereka menerima pembaruan (atau moderniasasi) pendidkan Islam hanya dalam skala yang sangat terbatas, sebatas mampu menjamin pesantren bisa tetap survive.
[2] Menurut data Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI tahun 2004 (dalam Sulaiman, 2010: 2) beberapa dasawarsa terakhir, jumlah pesantren di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Laporan Departemen Agama RI tahun 1977 menyebutkan bahwa jumlah pesantren 4.195 buah dengan jumlah santri 677.801 orang. Jumlah ini mengalami peningkatan signifikan pada tahun 1982, di mana jumlah pesantren 6.329 buah dan jumlah santri 1.084.801 orang. Satu dasawarsa kemudian tepatnya pada tahun 2001 jumlah pesantren mencapai 11.312 buah dengan jumlah santri sebanyak 2.737.805 orang. Menurut Riyasi (dalam Sulaiman, 2010: 1) jumlah pesantren tersebut kebanyakan di pedesaan yaitu 8.829 (78.05%), 1.325 (11.71%) berada di perkotaan dan 1.158 (10.24%) berada di daerah perbatasan antara kota dan desa. Sedangkan para santri yang belajar dan tinggal di pesantren pada umunya berasal dari wilayah pedesaan dan mereka akan kembali ke daerah masing-masing setelah menyelesaikan pendidikan pesantren. Azra (dalam Madjid, 1997; xxii) menjelaskan bahwa telah terjadi ekspansi pesantren dari pertumbuhan yang semula hanya rural based institusion kemudian menjadi lembaga pendidikan urban.
[3] Kiai mempunyai komunikasi sosial yang efektif dipedesaan. Dalam jaringan itu kiai memperoleh penerimaan dan dukungan umat. Patronasenya berlaku dan diuji terus menerus. Kelembagaan social yang berada di bawah naungan kiai begitu luas – untuk sekedar menyebut contoh langgar, mushalla, pesantren, jamaah pengajian, kelompok tarekat – sehingga memberikan akses luas kepada kiai untuk berhubungan dengan masyarakatbya. Hal ini masih diperluas dengan hubungan sementara kiai dengan pusat-pusat sumberdaya sosial-ekonomi seperti para dermawan, lembaga swadaya masyarakat, funding agencies, birokrasi dan politik seperti partai, aparat militer, pejabat pemerintah yang kesemuanya dapat menjadi sarana atau rpasarana dan saluran demokratiasi melalui pesantren (Fajrul Falakh, 1999: 165)
[4] Dalam sebuah audensi penulis dengan hasan hanafi, salah seorang pemikir kesohor Timur Tengah, yang banyak mengamati perkembangan islam di Asia dan beberapa kali berkunjung ke Indonesia pernah mengungkapkan bahwa kitab suci Islam Indonesia itu ada tiga yaitu: Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Ihya’ Ulumuddin. Meskipun ini adalah seloroh seorang Hasan hanafi, akan tetapi memiliki makna yang mendalam. Al-Qur’an dan Al-Sunnah adalah sumber pertama dan kedua dalam ilmu pengetahuan Islam, akan tetapi sumber yang ketiga sebetulnya adalah Ijma dank e empat Qiyas. Penyebutan Ihya ulumuddin sebagai sumber hokum ketiga atau bahkan kitab suci ketiga oleh hasan hanafi adalah sindiran kalangan islam Indonesia yang elbih emmentingkan Al-Ghazali dengan pemikiran sufisitk dan madzhab dari pada mementinggkan Ijma sebagai kesepakatan mayoritas ulama atau Qiyas sebagai bentuk penalaran rasional daripada penalran tekstual.
[5] Teori jatuh bangunnya sebuah kebudayaan dalam siklus 7 abad yang dibuat Hanafi ini dianggap Ali Harb sebagai perdukunan dan bukan teori ilmiah (Harb, 2000; 48)
[6] Dalam konteks disiplin ushul fiqh paling tidak ada tiga motif kenapa para ulama memberikan syarkh, khulasah maupun khasiyah atas karya-karya sebelumnya: Pertama, pentingnya ushul fiqh dalam sistem pengetahuan Islam, baik dari segi ilmu maupun teks tertentu yang diberikan komentar. Dari segi ilmu, ushul fiqh menempati posisi yang menentukan karena memuat dasar-dasar fatwa yang terkait dengan kebaikan seluruh umat Islam. Adapun dari segi pentingnya sebuah teks karena karya-karya tertentu seperti Al-Mustashfa dan Syifa’ Al-Ghalil merupakan puncak kematangan teori di samping kematangan penulisnya. Kedua, upaya menjelaskan bagian-bagian yang kurang dipahami. Dalam hal ini, komentar berfungsi mempermudah pemahaman, akan tetapi sebagian komentar juga ditulis tanpa ada motivasi ini; mirip dengan karya-karya filsafat sekarang ini yang ditulis hanya dalam rangka memenuhi kebutuhan buku ajar di madrasah dan universitas. Bentuk komentar kadang tidak disertai bab pendahuluan yang memuat alasan kenapa harus dilakukan komentar. Ketiga, mempertahankan kontinuitas. Komentar dilakukan sekedar meniru generasi sebelumnya yang melakukan hal sama. (Hanafi, 2004, 380)